1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

12 Juni: Hari Dunia Memerangi Buruh Anak

11 Juni 2008

Hampir 218 juta anak terpaksa bekerja sebagai buruh bangunan, pembantu atau di pabrik-pabrik. Kondisi kerja yang buruk serta pekerjaan yang berat sering berbekas pada jiwa dan raga buruh anak.

https://p.dw.com/p/EHuB
Foto: AP

Di sebagian negara dunia, tidak ada konsep "masa kanak-kanak " sebagai waktu di mana manusia berkembang secara psikis dan fisik. Karena itu, perumusan definisi "anak-anak" yang disepakati masyarakat dunia 20 tahun lalu, merupakan suatu kemajuan. Joanne Dunn bekerja bagi Badan PBB urusan anak-anak (UNICEF):

“Semua manusia di bawah usia 18 tahun adalah anak-anak menurut konvensi hak anak. Sementara, definisi buruh anak adalah mereka yang tidak memperoleh pendidikan dan perkembangannya terhambat karena dipaksa untuk bekerja."

Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) sekitar 218 juta anak harus bekerja, sebagian besar di sektor pertanian. Banyak anak menghadapi kondisi kerja yang sangat buruk, kata petugas program ILO untuk masalah buruh anak, Frank Hagemann:

Thailändische Straßenkinder
Anak jalanan di ThailandFoto: AP

"Masih ada eksploitasi seksual, perdagangan serta serdadu anak. Selain itu, banyak anak dijual atau dipaksa bekerja. Sebagian besar dari mereka harus melakukan pekerjaan berbahaya yang dalam bahasa Inggris disebut hazardous work. 90 persen anak-anak yang bekerja menghadapi situasi yang parah di tempat kerjanya."

Kemiskinan adalah penyebab utama mengapa buruh anak harus bekerja. Banyak perusahaan memperkerjakan anak-anak karena mereka penurut dan gaji yang harus dibayar untuk mereka rendah. Selain itu, tidak ada serikat buruh yang mewakili kepentingan mereka. Untuk mendobrak lingkaran setan antara kemiskinan dan buruh anak, konvensi hak anak PBB menetapkan agar semua anak mendapat akses pada pendidikan. Tidak adanya peluang untuk mengecap pendidikan kerap adalah penyebab sekaligus dampak pekerjaan anak. Memang, ada sebagian anak yang bekerja sambil bersekolah. Tapi, nilai mereka kerap lebih buruk dibandingkan murid yang hanya bersekolah saja. Pakar UNICEF Joanne Dunn:

“Di Mosambik misalnya, di kawasan yang memproduksi tembakau, jumlah anak yang berhenti sekolah sangat tinggi. Setiap tahun waktunya selalu sama, menjelang panen tembakau. Anak-anak yang tinggal kelas di kawasan itu dua kali lebih banyak dari rata-rata nasional. Jadi jelas, masalah buruh anak menghambat pemerataan pendidikan."

Afrika - Sierra Leone Schule Schülerinnen und Schüler
Murid sekolah dasar di Sierra Leone, AfrikaFoto: picture-alliance/dpa/T. Schulze

Di sejumlah negara berkembang muncul inisiatif yang menawarkan sekolah dengan jam pelajaran fleksibel bagi anak-anak yang harus bekerja. Namun, ini hanya menjawab sebagian masalah yang dihadapi buruh anak. Sering kali, mereka memilih untuk bekerja karena bersekolah tidak membawa keuntungan bagi mereka.

Selain pendidikan, situasi kehidupan sehari-hari anak-anak juga harus diperbaiki, kata pakar UNICEF Joanne Dunn.

“Misalnya akses pada layanan kesehatan. Banyak anak terkena racun pestisida atau terluka karena alat untuk menuai coklat misalnya. Selain itu, akses pada air dan sanitasi. Bila ini terjamin, mereka mendapat peluang untuk bersekolah dan bermain dengan tenang."

Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun belakangan jumlah buruh anak berkurang. Tahun 2000 sekitar 245 juta anak terpaksa bekerja. Tahun 2004, jumlah tersebut berkurang sebanyak 65 juta anak. Tapi apakah tren positif ini akan berlanjut baru akan terlihat tahun 2010, bila pendataan dan laporan berikutnya diluncurkan. (zer)