1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Resistensi Antimikroba Afrika dan Asia Tenggara Paling Gawat

1 Oktober 2024

Resistensi antimikroba sebabkan kematian lebih satu juta orang di Afrika, menurut laporan Global Research on Antimicrobial Resistance Project. Apa yang melatarbelakangi problem tersebut dan solusinya?

https://p.dw.com/p/4lHQ1
Gambar ilustrasi bakteri
Ilustrasi transduksi bakteri, mekanisme transfer gen horizontal yang dapat menyebabkan resistensi antimikroba.Foto: Science Photo Library/IMAGO

Kematian akibat resistensi antimikroba (AMR) terjadi di seluruh dunia. Namun kasusnya banyak terjadi di negara-negara Afrika Sub-Sahara.

Sebuah laporan inovatif terkini yang dilakukan Proyek Penelitian Global tentang Resistensi Antimikroba (GRAM) memperkirakan antara tahun 2025-2050, lebih dari enam juta kematian secara langsung dikaitkan dengan AMR akan terjadi di Afrika Sub-Sahara.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia -WHO, Resistensi Antimikroba yang dikenal sebagai AMR, terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit tidak lagi bereaksi terhadap obat-obat antimikroba. Akibatnya: Infeksi menjadi lebih sulit diobati, meningkatkan penyebaran penyakit, penyakit makin parah, dan kematian.

"AMR adalah masalah global bersama. Namun, beban tertinggi, yang berarti jumlah kematian tertinggi, terjadi di Afrika Sub-Sahara dan di Asia Tenggara," papar Kepala Penelitian Infeksi yang Kebal Obat Welcome Trust di London, Janet Midega, kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

 

Ancaman yang berkembang pesat ini merupakan perhatian utama bagi masa depan kesehatan global dan perawatan kesehatan modern.

Diproyeksikan lebih dari 39 juta orang bakal meninggal akibat infeksi yang resistan terhadap antibiotik pada tahun 2050.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan resistensi itu di antaranya: Kurangnya akses terhadap air bersih, sanitasi, dan kebersihan, baik yang berkaitan dengan manusia maupun hewan.

Selain itu, kurangnya tindakan pencegahan infeksi dan penyakit di rumah, fasilitas kesehatan, dan peternakan juga berperan dalam memburuknya situasi ini.

Pandemi Senyap akibat Resistensi terhadap Antibiotika

Butuh komitmen global

Pertemuan tingkat tinggi tentang AMR diadakan selama Sidang Umum PBB pada akhir September 2024 untuk membahas cara mengurangi kematian manusia akibat AMR hingga 10% pada tahun 2030.

Para pemimpin dunia bertemu di New York dan menyetujui daftar target global untuk mengendalikan krisis resistensi antimikroba.

"Deklarasi politik hari ini menunjukkan komitmen global terhadap tindakan kolektif untuk mengendalikan AMR," ujar Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Eropa Dr. Hans Henri P. Kluge,."Dengan target yang jelas ini dan komitmen yang dibuat, kita dapat mempercepat kemajuan dan memastikan lebih sedikit orang meninggal dan menderita. Deklarasi politik ini memberi kita kesempatan untuk memperkuat investasi dalam pengendalian dan kemitraan AMR, serta meningkatkan solidaritas dan akuntabilitas bersama antarnegara."

AMR diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global teratas. AMR secara langsung bertanggung jawab atas 1,3 juta kematian setiap tahun.

Studi Penelitian Global tentang Resistensi Antimikroba (GRAM) pertama, yang diterbitkan pada tahun 2022 di jurnal ilmiah Lancet, menemukan bahwa kematian terkait AMR global pada tahun 2019 lebih tinggi daripada kematian akibat HIV/AIDS atau malaria, yang secara langsung menyebabkan 1,2 juta kematian, dan berperan dalam 4,95 juta kematian lebih lanjut.

Tindakan yang diambil untuk menghentikan AMR

Tanpa upaya segera, resistensi antimikroba akan menyebabkan konsekuensi sosial dan ekonomi yang parah, papar para ahli.

"Sebagai masalah yang memiliki banyak sisi, AMR memerlukan tindakan dari berbagai sektor ekonomi, politik, sistem perawatan kesehatan, dan pembuat kebijakan untuk menyelesaikannya," kata Janet Midega dari Welcome Trust London.

Ia menambahkan, laporan tentang kematian di Afrika yang disebabkan oleh AMR, tidak hanya menyebutkan soal resistensi, tetapi yang terpenting, kurangnya akses terhadap antibiotik.

"Salah satu hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah bekerja pada pencegahan dan pengendalian infeksi, sehingga infeksi dapat dicegah sebelum terjadi... pemerintah dapat (juga) meningkatkan layanan sanitasi dan kebersihan air," ujar Midega kepada DW.

Midega menegaskan, vaksin harus tersedia secara lebih luas, seperti misalnya vaksin konjugat pneumokokus. Namun, aspek yang paling penting, tambahnya, adalah "memastikan bahwa ada akses terhadap obat-obatan antibiotika."

Obat-obatan antimikroba memainkan peran penting dalam perawatan kesehatan modern. Penyebaran patogen yang resistan terhadap obat mengancam kemampuan untuk mengobati infeksi umum.

Selain itu, infeksi yang resistan terhadap obat berdampak pada kesehatan hewan dan tumbuhan, mengurangi produktivitas di peternakan, dan mengancam ketahanan pangan.

Dalam deklarasi politik tersebut, para kepala negara dan pemerintahan berkomitmen untuk memperkuat mekanisme tata kelola dalam menanggapi AMR, dengan menggunakan pendekatan One Health, yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah "pendekatan terpadu dan terpadu yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan."

"Yang kita butuhkan sekarang adalah para pemimpin mulai mempercepat kesadaran, pencegahan yang efektif, mempercepat pengelolaan AMR di tingkat nasional, regional, dan global. Kita harus menghentikan kebocoran antimikroba ke alam," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB Inger Andersen, pada pertemuan PBB baru-baru ini tentang AMR.

Penanganan di Indonesia

Sebagai respons untuk pencegahan kematian akibat resistansi antimikroba (AMR), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dan World Health Organization (WHO) meluncurkan Strategi Nasional Pengendalian Resistansi Antimikroba periode 2025-2029 . Demikian dikutip dari situs WHO Indonesia.

Plt. Team Lead untuk Sistem Kesehatan WHO, Prof. Roderick Salenga, mengatakan peluncuran Stranas Pengendalian Resistansi Antimikroba ini berdasarkan pada pendekatan berorientasi pada manusia WHO.

“Pendekatan ini akan menjawab langsung hambatan-hambatan yang dihadapi orang-orang saat mengakses layanan kesehatan untuk mencegah, mendiagnosis, dan mengobati infeksi, termasuk infeksi yang resistan terhadap obat,” ucap Prof. Salenga.

Dalam situs resmi pemerintah Sehat Negeriku, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Azhar Jaya, mengungkapkan data kejadian resistensi antimikroba mencakup dua jenis bakteri yang kebal antibiotik.

“Data AMR di Indonesia secara khusus didapatkan dari data yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, di mana hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68%,” ungkap Azhar.

Menilik dampak infeksi resistensi antimikroba pada pasien, masyarakat diimbau untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotik. Upaya ini untuk mencegah terjadinya risiko infeksi AMR.

Dirjen Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya menyampaikan beberapa imbauan kepada masyarakat terkait konsumsi antibiotik, sebagai berikut:

a. Gunakan antibiotik hanya ketika diresepkan oleh dokter. Ikuti petunjuk dokter mengenai dosis dan durasi pengobatan.

b. Jangan menggunakan antibiotik yang dibeli tanpa resep atau sisa obat dari perawatan sebelumnya.

c. Jika dokter meresepkan antibiotik untuk infeksi yang tampaknya ringan, tanyakan alasan dan manfaatnya, serta alternatif pengobatan yang mungkin tersedia.

d. Jika  memiliki hewan peliharaan, pastikan antibiotik yang diberikan kepada hewan juga digunakan secara bijaksana. Sebab, resistensi dapat terjadi di antara hewan dan manusia.

e. Untuk menghindari risiko infeksi dan kebutuhan antibiotik, lakukan kebiasaan higienis yang baik seperti mencuci tangan secara teratur. Lakukan vaksinasi yang diperlukan untuk mencegah infeksi yang bisa memerlukan antibiotik jika terjadi.

f. Diskusikan kekhawatiran dengan tenaga medis tentang penggunaan antibiotik dan manfaat serta risikonya.

Menurut Azhar, Strategi Nasional (Stranas) Antimicrobial Resistance 2025-2029 telah mengatur bahwa kampanye penggunaan antibiotik tidak hanya ditujukan kepada masyarakat melalui tetapi juga kepada tenaga medis.

“Upayanya melalui peningkatan kompetensi dokter dalam tata laksana penyakit infeksi dan kepatuhan akan standar pelayanan dan panduan praktik klinis untuk dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan,” ucapnya.

Pengawasan terhadap pemberian antibiotik perlu dilakukan melalui Rekam Medis Elektronik (RME) yang digunakan oleh tenaga medis, serta kewajiban melaporkan penggunaan antibiotik golongan cadangan (reserve antibiotics) pada pasien beserta alasannya.

“Tenaga kesehatan selain dokter, tidak diperkenankan memberikan resep, kecuali mendapatkan kewenangan tambahan dari menteri atau peraturan perundang-undangan,” pungkas Azhar Jaya.

*Tambahan sumber: WHO Indonesia, Sehat Negeriku