Aksi Tembak Mati terhadap Pengungsi di Timur Tengah
12 November 2008Aksi tembak mati terhadap pengungsi yang tidak bersenjata merupakan bentuk pelanggaran hak azasi manusia yang amat unik di perbatasan Israel-Mesir. Human Rights Watch meneliti alasan perintah tersebut dalam laporannya, dan menemukan kaitannya dengan politik negara tetangga Israel, yakni Mesir. Akhir Juni 2007, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Mesir Hosni Mubarak bertemu di Sharm el Sheik. Usai pertemuan itu, Mesir mengubah politik perbatasannya.
Bill van Esveld, penulis laporan itu menyebutkan, "Beberapa hari setelahnya, ada kabar pertama peristiwa penembakan di perbatasan. Tidak ada yang terbunuh, tapi ada penembakan. Beberapa pekan berikutnya, terdengar kabar Hadja Haroun, perempuan hamil dari Darfur, tewas. Korban tewas terus bertambah. Ada indikasi, Mesir, bereaksi terhadap kepentingan Israel, dengan menghentikan gelombang pengungsi di perbatasan. Kami tidak menyebut, Israel menyuruh Mesir secara langsung untuk menembaki orang di perbatasan. Kami tidak punya bukti mengenainya. Tapi dapat kami katakan bahwa Mesir, di bawah tekanan Israel, membuat kebijakan yang mengakibatkan banyak kematian.“
Hadja Haroun, pengungsi dari Darfur selatan merupakan korban tewas pertama di perbatasan Mesir dan Israel. "Kami sudah memperingatkan mereka, tapi mereka tidak berhenti, makanya kami harus mengeluarkan tembakan peringatan,“ demikian penjelasan polisi Mesir di depan Human Rights Watch. Tapi jumlah korban tewas terus bertambah, dan organisasi pembela hak azasi manusia tidak percaya lagi pada apa yang disebut „kecelakaan“ itu.
Joe Stork, wakil direktur Human Rights Watch cabang Timur Tengah dan Afrika mengatakan, “Anda tahu, penjelasan mengenai peristiwa penembakan itu adalah kesalahan tragis, masih dapat dipercaya. Namun jika terjadi 33 kali, pasti orang bertanya-tanya, itu seperti disengaja.”
Sejak pertengahan 2006, sekitar 13 ribu pengungsi menyeberang ke Israel lewat Sinai. Israel saat ini merupakan negara terkaya di wilayah itu. Upah bulanan pekerja kasar di Israel dua kali lipat dari upah di Mesir. Sebuah kondisi yang menggiurkan bagi banyak pihak, termasuk suku beduin mengambil kesempatan itu untuk menyelundupkan pengungsi melewati perbatasan.
Namun, siapa pun yang berhasil masuk ke Israel, dengan segera mereka akan diusir kembali. Ratusan pengungsi Afrika, tahun lalu dideportasi dari Israel ke Mesir. Tapi, ada sejumlah orang yang tidak lagi diketahui keberadaannya. Human Rights Watch mendesak Israel untuk tidak lagi mendeportasi pengungsi ke Mesir, melainkan ke negara asalnya. Human Rights Watch juga menuding Badan PBB urusan pengungsi UNHCR, tidak cepat tanggap dalam mengurusi para pengungsi itu.(ls)