1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Presiden Baru Taiwan Akan Berhadapan Dengan Cina?

21 Mei 2024

Perhatian dunia terfokus ke Beijing seusai pelantikan Wiliam Lai sebagai presiden baru Taiwan. Sejak lama Cina menganggap tokoh berusia 64 tahun itu sebagai seorang "separatis" yang "membahayakan" stabilitas keamanan.

https://p.dw.com/p/4g4U4
William Lai Ching-te
Pelantikan William Lai Ching-te sebagai presiden baru TaiwanFoto: Taiwan Ministry of Foreign Affairs/AP/picture alliance

Pada hari Senin (20/5), William Lai Ching-te dilantik sebagai presiden Taiwan. Dalam pidato pelantikannya, politisi Partai Progresif Demokratik, DPP, itu bersumpah untuk membela demokrasi, sekaligus menuntut Cina mengakhiri intimidasi militer.

"Dalam menghadapi ancaman dan upaya penyusupan dari Cina, kita harus menunjukkan tekad bela negara yang tinggi dan meningkatkan kesadaran pertahanan, serta memperkuat kerangka hukum untuk keamanan nasional,” kata sang presiden terpilih.

Beijing mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri. Di bawah pemerintahan Xi Jinping selama satu dekade terakhir, Cina mempertebal ambisinya untuk "menyatukan kembali” kedua negeri di Selat Taiwan.

Cina sebelumnya mencap Lai sebagai seorang "separatis berbahaya.” Beberapa jam setelah pelantikannya pada hari Senin, Beijing mewanti-wanti betapa "kemerdekaan Taiwan adalah jalan buntu.”

Kegusaran di Beijing terkait hasil pemilu Taiwan

Hasil pemilihan presiden dan parlemen Taiwan pada bulan Januari silam dipandang negatif oleh Beijing, dan dinilai berpotensi semakin mendinginkan relasi diplomasi, kata sejumlah pengamat kepada DW.

Sebelum pemilu, Cina telah membingkai pemilu di Taiwan sebagai pilihan antara "perang dan perdamaian," serta memperingatkan bahwa pemilihan Lai sebagai presiden akan menjadi ancaman bagi perdamaian regional.

Terlepas dari ancaman Beijing, Lai meraih sekitar 40 persen suara dalam pertarungan segi tiga melawan Hou Yu-ih dari partai oposisi utama Kuomintang, KMT, dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan, TPP.

"Cina tidak senang dengan Lai. Sebabnya, hasil pemilu dipandang buruk karena dimenangkan oleh sosok yang justru paling tidak diinginkan," kata Lev Nachman, ilmuwan politik di Universitas Nasional Chengchi Taiwan, kepada DW.

Blinken: Need open communication channels to China

Meski begitu, terpilihnya Lai "membawa hikmah dari sudut pandang Cina,” kata Nachman. Dia merujuk pada kegagalan Lai untuk membukukan perolehan 50 persen suara, yang berarti "mayoritas masyarakat Taiwan tidak mendukung DPP atau Lai. Hal ini adalah masalah besar."

Pada saat yang sama, pakar lain percaya bahwa kemenangan DPP "sesuai ekspektasi Beijing,” terlepas dari harapan agar kepemimpinan Taiwan berpindah ke partai oposisi yang menyerukan lebih banyak dialog dan pertukaran dengan Cina.

Chang Wu-ueh, pakar hubungan internasional di Universitas Tamkang, Taiwan, kepada DW mengatakan, sebagian besar pejabat Cina sudah memperkirakan hasil pemilu dan sedang mempersiapkan respons yang sepadan.

"Langkah-langkah intimidasi militer dan tekanan ekonomi sebelum pemilu kemungkinan besar akan ditingkatkan di masa setelah pemilu,” kata Chang.

Status quo lintas selat

Taiwan, yang cuma terpaut jarak sekitar 125 kilometer dari Cina daratan, berpotensi menjadi salah satu titik konflik paling menentukan di dunia. Selama delapan tahun terakhir kekuasaan DPP, dialog resmi antara kedua negara terhenti.

Dengan terpilihnya Lai, Amerika Serikat dan sekutu Barat mengamati dengan cermat bagaimana kebijakan terhadap Cina dapat mengubah hubungan lintas selat yang sudah meruncing.

"Saya tidak berpikir akan ada perang, namun saya yakin Cina akan tetap tidak mengangkat telepon,” kata Cendekiawan Nachman, seraya menambahkan betapa "relasi yang dingin” dengan Cina akan berlanjut dan Lai kemungkinan besar tidak akan mengubah status quo di Selat Taiwan.

Chong Ja Ian, profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, meyakini Presiden Cina Xi Jinping "mungkin khawatir terhadap eskalasi tidak terkendali pada saat perekonomian Cina sedang melemah."

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyambut pelantikan Lai dan mengutarakan harapan bahwa Washington dan Taipei dapat menjaga "perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.”

"Kemitraan antara rakyat Amerika dan rakyat Taiwan, yang berakar pada nilai-nilai demokrasi, terus meluas dalam hubungan perdagangan, ekonomi, budaya dan pertukaran antarwarga,” tambahnya.

China's foreign minister warns of potential for 'downward spiral' in relations with US

AS mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Beijing pada tahun 1979, meski tetap menjadi pemasok senjata terbesar bagi Taipei hingga kini.

Chang mengatakan kepada DW, masa depan hubungan lintas selat akan bergantung pada relasi AS dan Cina. "Selama hubungan kedua negara berjalan lancar dan perbedaan dapat diatasi, Beijing percaya bahwa hubungan AS-Cina akan jauh melebihi hubungan lintas selat yang lebih kecil,” katanya.

Ketegangan di Selat Taiwan selama ini menjadi sumber perselisihan terbesar antara Beijing dan Washington.

Ujian bagi pemerintahan baru Taiwan

Sebagian besar pengamat meyakini, parlemen baru di Taipei akan menjadi ujian besar pertama bagi kepemimpinan Lai, mengingat tidak ada satu pun partai politik yang mendapatkan mayoritas absolut.

"Seorang presiden tanpa mayoritas di parlemen harus menangani agenda legislatifnya, yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri, kata Chong, profesor politik di Singapura, kepada DW.

Partai pemerintah DPP kehilangan 11 kursi pada pemilu terakhir, sehingga memberikan dominasi kepada partai oposisi KMT. Partai oposisi terbesar itu memperoleh satu kursi lebih banyak dengan 52 kursi dari 113 kursi di parlemen Taiwan. Adapun TPP, yang hanya memiliki 8 kursi, menjadi minoritas kunci karena memastikan porsi mayoritas.

Profesor Chong menkankan, "tidak ada yang tahu pada saat ini" bagaimana Lai akan merespons tekanan ekstrem sebagai kepala pemerintahan di Taipei.

rzn/as

Yu-chen Li Li adalah Jurnalis multimedia dan saat ini bekerja sebagai koresponden Taipei di DW.