Bagaimana Turki Penjarakan Aktivis dengan UU Disinformasi
12 Desember 2024Peringatan tentang bahaya bagi demokrasi di Turki datang dari atlet pendaki gunung Nasuh Mahruki, "yang terhormat rakyat Turki, marilah waspada dan berhati-hati. Pemerintah dan komite pemilu ingin sedang kembali berusaha mencuri suara kalian," tulisnya di media sosial, merujuk pada rencana pemerintah mendorong pencoblosan digital di masa depan.
Tak lama setelah unggahan tersebut, pria berusia 56 tahun itu ditangkap pada tanggal 20 November lalu dan ditahan. Proses penyusunan dakwaan terhadap pendiri organisasi penyelamat sipil terkenal AKUT itu berlagsung cepat. Dia akan diadili di Istanbul pada akhir Desember dan menghadapi ancaman hukuman tiga tahun penjara.
Mahruki didakwa menghina negara, khususnya otoritas pemilu, dan menyebarkan informasi palsu. Tuduhan kedua berada di bawah apa yang disebut Undang-Undang Disinformasi, yang mulai berlaku pada tanggal 18 November 2022 dan juga dikenal masyarakat sebagai "Undang-Undang Sensor”.
UU tersebut mengancam hukuman penjara antara satu dan tiga tahun terhadap tindak "menyebarkan informasi yang salah tentang keamanan internal dan eksternal negara, ketertiban umum dan layanan kesehatan.”
Saat itu pun, aktivis hak asasi manusia dan oposisi Turki sudah mengkritik rumusan karet dalam naskah rancangan undang-undang. Rumusannya dianggap membuka banyak ruang untuk penafsiran, mengarah pada dakwaan sewenang-wenang dan pembatasan lebih lanjut terhadap kebebasan pers dan berekspresi. Kini ketakutan mereka terbukti.
4.600 investigasi dan 33 penangkapan
Aktivis hak asasi manusia telah lama meminta pemerintah yang saat ini dikuasai AKP untuk membeberkan berapa jumlah kasus dakwaan di bawah UU Disinformasi. Namun tuntutan tersebut diabaikan. Pertanyaan pihak oposisi juga masih belum terjawab.
"Angkanya baru terungkap dalam perdebatan mengenai undang-undang sensor lainnya di parlemen, beberapa minggu lalu,” lapor Veysel Ok, pengacara dan salah satu direktur Asosiasi Studi Media dan Hukum, MLSA.
MLSA terutama memantau dan mendampingi persidangan terhadap jurnalis, aktivis hak asasi manusia, dan aktivis.
Menurut catatan parlemen, pihak berwenang Turkitelah membuka penyelidikan terhadap 4.590 orang sejak undang-undang tersebut diberlakukan hingga Oktober 2024. Sebanyak 33 di antaranya ditangkap. Dakwaan diajukan dalam 384 kasus. Dalam 42 kasus, pengadilan menjatuhkan vonis hukuman.
Adapun sebanyak 146 kasus berakhir dengan pembebasan. Hampir setengah dari seluruh investigasi telah ditutup. Dalam 31 kasus, pengumuman hukuman ditunda. Menurut para pengacara, cara ini adalah alat lain untuk mengintimidasi para pengkritik.
"Undang-undang sensor” tidak hanya digunakan terhadap jurnalis dan perwakilan media, kata aktivis hak asasi manusia Ok. "Warga negara biasa yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah saat terjadi bencana alam, gelombang penyakit, krisis, atau peristiwa lainnya juga menjadi sasaran peradilan.”
Dalam sebuah wawancara dengan DW, dia menyebutkan beberapa contoh: "Sosiolog terkenal Veli Sacilik dijatuhi hukuman sepuluh bulan penjara karena postingannya tentang gempa bumi. Evren Baris Yavuz, seorang ahli komunikasi politik, dijatuhi hukuman satu tahun dan 15 hari penjara. Dokter Yusuf Eryazgan diadili karena mengkritik kebijakan vaksinasi di pusat keluarga.
Alat untuk intimidasi
Sebelumnya terdapat undang-undang lain dalam hukum pidana Turki yang dapat digunakan untuk menghukum kritik. Contohnya adalah undang-undang anti-terorisme dan internet atau undang-undang yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap presiden. Namun dakwaan hukum tidak selalu berhasil. Khususnya, unggahan online belum tersentuh hukum dan sebabnya menjadi duri bagi pemerintah.
"Pemerintah berupaya menutup kesenjangan ini dengan undang-undang disinformasi,” kata Ok. Rekayasa yang sangat fleksibel kini dapat dilakukan. Hal ini memudahkan untuk menekan opini yang tidak diinginkan. Dengan demikian, pemerintah menunjukkan bahwa hanya pemerintahlah yang memutuskan penyebaran informasi.
68 kasus terhadap 57 jurnalis
Sejak Undang-Undang Disinformasi berlaku, MLSA telah mencatat setidaknya 68 investigasi terhadap 57 jurnalis, penulis, dan profesional media. Sebanyak 22 kasus berujung dakwaan hukum. Namun, mayoritas berakhir dengan pembebasan setelah ditunda tanpa alasan jelas.
"Penangkapan dan pembebasan jurnalis seperti Nilay Can, Dincer Gökce, Ismail Saymaz, kolumnis Fatih Altayli dan pengacara Irem Cicek baru-baru ini juga harus ditambahkan," lanjut Ok.
Pengacara Gizay Dulkadir, yang juga mewakili beberapa jurnalis, mengkritik praktik penegakan hukum oleh otoritas Turki.
Menurutnya, aparat keamanan mengambil tindakan atas inisiatif mereka sendiri. Penangkapan sudah dilakukan setelah munculnya pernytaaan kritis yang dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran pidana, tanpa adanya aduan atau tuntutan pidana yang diajukan sebelumnya.
Jaksa penuntut akan membuka penyelidikan berdasarkan target penuntutan tersebut. Keduanya ilegal, menurut Dulkadir. Menurutnya, ada putusan serupa dari Mahkamah Konstitusi Turki yang menyatakan tindakan penyidik tidak dapat diterima. Namun penilaian ini diabaikan.
Kasus Firat Bulut menunjukkan adanya penganiayaan dan kesewenang-wenangan yang ditargetkan, lapor MLSA. Oleh karena itu, jurnalis tersebut melaporkan pemberontakan di penjara Elbistan setelah gempa bumi pada Februari 2023.
Kantor kejaksaan setempat telah memulai penyelidikan terhadapnya atas tuduhan menyebarkan informasi palsu. Akhirnya terungkap, bahwa benar telah terjadi kerusuhan di penjara tersebut, dan kantor kejaksaan juga bertugas menyelidikinya. "Namun kasus terhadap jurnalis Bulut tidak dihentikan. Dia diancam hukuman penjara beberapa tahun dan sebabhnya harus meninggalkan Turki," kata Ok.
Pada tanggal 26 Desember nanti akan terlihat apakah nasib serupa akan menimpa pendaki gunung Mahruki. Kejaksaan belum yakin dengan argumennya bahwa ia tidak menyebarkan informasi apa pun, melainkan mengomentari proyek pemerintah dan bahwa hal ini termasuk dalam kebebasan berekspresi. Dia berhasil setidaknya satu kemenangan kecil: Kamis lalu dia dibebaskan dengan syarat.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman