1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bekerja di Bonn: Pengalaman Orang Asing dari Berbagai Negara

Marjory Linardy13 Maret 2008

Harus diakui, sejarah Jerman, terutama selama Perang Dunia II kerap menyebabkan dugaan, di Jerman orang asing tidak disukai. Apakah prasangka itu dapat dibuktikan? Atau itu tergantung dari pandangan pribadi tiap orang?

https://p.dw.com/p/DO2G
Poppelsdorfer Schloss, istana di kota BonnFoto: DW
Menurut informasi dari departemen luar negeri Jerman, dari 82,5 juta warga Jerman sekitar 8,8% adalah warga asing. Badan Statistik Jerman melaporkan Desember 2007 lalu, paling banyak berasal dari Turki, diikuti kemudian dengan Italia dan Polandia. Sementara Indonesia tidak termasuk 16 negara yang memiliki warga terbanyak di Jerman. Sebagian besar warga asing hidup di negara bagian dan kota-kota yang dulunya termasuk Jerman Barat. Kota Bonn, misalnya, yang dulunya merupakan ibukota Jerman Barat, bisa dibilang kota internasional. Di kota tempat Radio Deutsche Welle berdomisili ini, hidup 70.000 warga asing dari 173 negara.

Kesulitan Bahasa

Ariesta Ningrum berasal dari Yogyakarta. Sejak 2007 ia bekerja di UNFCCC, yaitu badan PBB yang mengurus penurunan emisi negara-negara maju. Apa kesulitan terbesar yang dihadapinya selama ini? Bahasa adalah kesulitan nomor satu. Karena ia tidak pernah belajar bahasa Jerman. Di sekolahpun tidak pernah. Sebelum datang ke Jerman ia mencoba belajar, tetapi ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.

Satu-satunya yang membuat ia yakin dapat bekerja di Jerman adalah, untuk bekerja ia tidak membutuhkan bahasa Jerman. Tetapi karena akan tinggal di Jerman, ia tahu, harus dapat berkomunikasi dengan bahasa Jerman, walaupun terbatas. Namun karena kesibukan di kantor, ia belum menemukan waktu yang tepat untuk belajar bahasa Jerman. Ia sekarang sudah mulai mengenal kata-kata yang diperlukan. Misalnya saja angka, itu sudah harus tahu. Demikian ditambahkan Ariesta Ningrum.

Masalah Waktu

BdT Gutes Wetter im Rheinland Bonn
Foto: AP
Jika bekerja di salah satu badan PBB, walaupun di Jerman, pekerjanya memang tidak diharuskan untuk bisa berbahasa Jerman. Hal ini juga dibenarkan Nancy Njoroge, yang berasal dari Kenya. Ia sudah bekerja hampir 12 tahun di badan PBB yang berkantor di Jerman, tetapi tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Jerman. Apa penyebabnya? Apakah ia memang tidak ingin mampu berbahasa Jerman? Seperti Ariesta Ningrum, Nancy Njoroge juga merasa sulit mencari waktu untuk belajar, karena waktu kerja mereka tiap harinya sangat panjang. Untuk dapat berbicara dalam bahasa Jerman, orang harus sangat disiplin dan berusaha keras. Demikian dikatakan Nancy Njoroge. Itu bukan berarti ia atau pekerja di PBB lainnya tidak memiliki kawan orang Jerman. Tentu saja mereka berteman dengan orang Jerman, tetapi teman-teman mereka ingin berbicara dalam Bahasa Inggris, dan menjadi bagian komunitas internasional. "Jadi saya akui, untuk berintegrasi dengan baik di Jerman, bahasa adalah tantangan paling besar." Demikian ditambahkan Nancy Njoroge.

Bahasa Jerman Diperlukan

Kondisi di mana bahasa Jerman tidak dibutuhkan seperti di kantor PBB, bisa dibilang pengecualian. Urusan dengan berbagai badan di Jerman sering hanya dapat diselesaikan dengan bahasa Jerman. Demikian halnya dengan proses perkuliahan. Semua mahasiswa asing di Jerman harus belajar bahasa Jerman. Walaupun masih menemui kesulitan, bahasa Jerman tetap harus dipakai. Seperti penuturan Agustinus Robert Uria, mahasiswa Indonesia asal Poso, yang sedang mengejar gelar doktor di bidang kimia di Universitas Bonn. Ia tiba di Jerman Juni 2007, dan baru belajar bahasa Jerman selama enam bulan.

Rathaus Bonn Stadt Bonn
Balai Kota tua di pusat kota BonnFoto: presse

Ia menceritakan, teman-temannya di tempat ia melakukan penelitian sering menggunakan bahasa Jerman. Dan walaupun sepatah, dua patah ia dapat menjawab. Untuk kondisi formal mereka menggunakan bahasa Inggris, karena mahasiswa yang melakukan penelitian berasal dari berbagai bangsa. Sedangkan untuk kondisi informal, seperti dalam acara makan atau minum bersama, mereka menggunakan bahasa Jerman.

Masalahnya Bukan Bahasa Saja

Jadi bahasa Jerman memang penting. Tetapi apakah segala sesuatunya pasti berjalan lancar hanya karena si pendatang dapat berbicara bahasa Jerman? Arisoa Rajaona yang berasal dari Madagaskar juga mahasiswa di Universitas Bonn. Setelah berada di Jerman lebih dari dua tahun, ia sudah hampir mendapatkan gelar "Master" di Fakultas Pertanian. Ia mampu berbahasa Jerman, namun tetap menghadapi kesulitan untuk berinteraksi dengan orang Jerman. Orang Jerman tidak ramah dan agak tertutup. Begitu dikatakan Arisoa Rajaona. Sehingga ia tidak bisa sehangat seperti di negara asalnya. Atau juga kita tidak bisa tiba-tiba mengatakan kepada orang Jerman: "Hallo! Saya dari Madagaskar. Interaksi seperti itu sulit. Dan bukan hanya orangnya saja. Saya rasa sistem di Jerman agak kurang toleran, begitu. Mereka tidak mau bergeser sedikitpun dari yang sudah ditetapkan."

Sulit Membuka Usaha

Orang Jerman terlalu kaku. Itu juga pendapat Amelia Abitong-Huetwohl dari Filipina. Ia sudah tinggal di Jerman sejak 1977 dan fasih berbahasa Jerman. Tahun 1988 ia mendirikan sebuah biro perjalanan. Dan sebagai orang yang memiliki usaha sendiri, ia menghadapi banyak masalah dengan badan yang berwenang. Orang Jerman kadang kurang mau bekerjasama dan tidak fleksibel. Mereka bahkan juga bisa bersikap mengintimidasi atau kasar. Tapi menurutnya itu hanya masalah kepribadian saja, dan bagaimana kebiasaan mereka sebagai badan berwenang. Di Filipina tentu lebih mudah. Itu bukan masalah bahasa saja, melainkan sikap. Di Jerman, mereka sepertinya sengaja mempersulit. Demikian ditambahkan Amelia Huetwohl.
Ships Rhein Bonn
Lalulintas kapal di sungai Rhein yang melalui BonnFoto: Stephanie Raison

Di samping itu, tentunya mendirikan perusahaan di negara asing lebih susah, karena banyak peraturan yang tidak dikenal. Walaupun begitu, Amelia Huetwohl sama sekali tidak menyesali keputusan datang ke Jerman dan membuka usaha sendiri. Itu memang tantangan, dan ia berhasil mengatasinya. Setelah 20 tahun, biro perjalanannya masih berjalan maju. Memang kota Bonn yang internasional, dan bidang turisme, yang menyebabkan ia juga banyak berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai negara, mempermudah pekerjaannya.

Tidak Ada Penyesalan

Walaupun sikap orang Jerman pada yang awalnya kadang susah diterima oleh pendatang. Kebanyakan dari mereka tidak menyesal datang ke Jerman. Arisoa Rajaona yang berkuliah di Bonn, misalnya merasa sulit untuk melaksanakan penelitiannya di Madagaskar. Di Jerman banyak orang yang bisa ditanyai pendapatnya. Bahan-bahan juga banyak. Informasi dan pengetahuan dapat diperoleh dengan mudah, dan tentunya juga perpustakaan. Menurut Arisoa Rajaona di Madagaskar sulit mendapat buku yang aktual.
Karte Bonn Deutschland
Foto: AP Graphics/DW

Selain itu, masalah lain seperti dengan bank juga lebih mudah dan jelas di Jerman daripada di negara asalnya. Pendapat serupa juga dikatakan Amelia Huetwohl yang berasal dari Filipina. Apa yang menurutnya lebih baik di Jerman daripada di negara asalnya? Terutama kondisi untuk bekerja. Gaji, asuransi kesehatan, asuransi sosial. Di Jerman orang bisa yakin, bahwa pemerintah Jerman adalah pemerintah yang berfungsi. Institusi, badan-badan, semua berfungsi baik, lain dengan di Filipina. Demikian pendapat Amelia Huetwohl.

Ariesta Ningrum dari Indonesia pendapatnya juga tidak jauh berbeda. Keteraturan, sistem dan "law inforcement" itu sudah jelas, penegakan hukum. Jadi kalau mengikuti peraturan, orang tidak perlu khawatir. Sedangkan di Indonesia, kadang kita melakukan hal yang benar, tetapi terjebak dalam situasi yang tidak benar. Demikian pendapat Ariesta Ningrum. Di sini kita tidak perlu mencari jalan pintas. Apalagi di Jerman, orang sangat taat pada peraturan.

Sisi Positif Sistem di Jerman

Ludwig van Beethoven Denkmal in Bonn
Patung komponis kelahiran Bonn, Ludwig van Beethoven di pusat kotaFoto: dpa

Sistem di Jerman yang pada satu sisi kerap dirasa kaku dan terlalu ketat oleh pendatang, mempunyai sisi yang positif, yaitu orang jadi memiliki kepastian harus bersikap bagaimana. Dan dalam sikap orang Jerman sendiri, sisi positif ini juga bisa ditemukan. Arisoa Rajaona mengatakan, jika orang Jerman sudah mengenal seseorang, mereka akan terbuka, ramah dan siap membantu.

Bahkan Nancy Njoroge yang tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Jerman menilai semua prasangka buruk yang pernah didengarnya tentang orang Jerman sama sekali tidak terbukti. Dulu, saat kantor tempatnya bekerja dipindahkan dari Jenewa ke Bonn, semua pekerja khawatir, karena mereka menduga orang Jerman anti orang asing. Dan sekarang, orang Jerman telah melepaskan diri dari sejarahnya (catatan dari redaksi: yang dimaksud adalah sejarah di masa NAZI). Lagipula, diskriminasi bisa ada di manapun di dunia ini. Sementara sikap warga Bonn jelas sebaliknya. Demikian pendapat Nancy Njoroge. Jadi apakah orang merasa diterima dan merasa berada di rumah sendiri, kerap tergantung dari sikap tiap orang. Apakah anda terbuka untuk hal-hal yang baru dan berbeda?