1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilema Pengungsi Lembah Swat Pasca Operasi Militer Pakistan

25 Mei 2009

Taliban serukan penduduk Mingora kembali ke rumahnya dan berjanji tidak akan menyerang militer di kota itu. Sebaliknya, militer Pakistan ingin gelar operasi pembersihan Taliban dulu.

https://p.dw.com/p/HxJ0
Anak-anak pengungsi di kamp Mardan, Pakistan. Mereka dan anggota keluarganya mengungsi dari Mingora.
Anak-anak pengungsi di kamp Mardan, Pakistan. Mereka dan anggota keluarganya mengungsi dari Mingora.Foto: picture alliance / landov

Kaum militan Taliban menyerukan penduduk kota Mingora untuk kembali ke rumah masing-masing, dan menjalankan lagi keseharian mereka. Karena, kata juru bicara Taliban Pakistan, Muslim Khan, mereka tidak akan lagi menyerang atau menembaki tentara pemerintah di kota terbesar Lembah Swat itu.

Seorang warga Mingora yang telah mengungsi, Adjmal namanya, sebaliknya mengatakan hanya akan kembali jika Taliban sudah sepenuhnya terusir.

"Kaum Taliban sangat berbahaya. Kami tak bisa kembali ke kampung kami jika mereka masih ada di sana. Mereka sangat mengerikan. Taliban berulang kali mengancam untuk membunuh kami."

Juru bicara Taliban mengatakan, keputusan untuk tidak menyerang tentara bukan merupakan gencatan senjata sepihak. Para anggota Taliban, katanya akan tetap berada di kota itu. Keputusan penghentian serangan semata berdasarkan pertimbangan keselamatan warga sipil dan harta bendanya.

Sebaliknya, militer Pakistan menganggap pernyataan itu sebagai isyarat terdesaknya kaum Taliban, yang menyadari bahwa mereka sudah berada di ambang kekalahan. Tentara pun melakukan penyergapan dari rumah ke rumah. Menurut juru bicara militer, untuk membersihkan kota Mingora dari Taliban, dibutuhkan setidaknya sepekan operasi dari rumah ke rumah.

Seorang imam dari Lembah Swat, Mullah Abdul Azis menganggap, operasi militer yang sudah berlangsung sebulan ini sebagai tindakan berlebihan. Ia membela kaum Taliban.

Mullah Abdul Aziz, "Taliban bukan merupakan ancaman bagi Pakistan. Karena Taliban sekadar suatu gerakan keagamaan yang menyerukan umat untuk mentaati aturan Allah."

Masalahnya, seruan mentaati aturan Tuhan itu dilakukan dengan paksaan, kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan. Misalnya, Taliban menyerang sejumlah sekolah dan para murid perempuan, antara lain dengan menyiramkan air keras ke wajah para siswi. Karena mereka mengganggap perempuan tidak boleh bersekolah.

Pemerintah Pakistan sempat menyerah dengan memberi hak pemberlakuan syariat Islam di sebuah kawasan di Lembah Swat, sebagai syarat kesepakatan perdamaian. Peristiwa yang dikecam barat. Nyatanya, tak lama sesudah kesepakatan itu, Taliban berusaha memperluas pengaruhnya dengan merebut kawasan Buner, sekitar 100 km dari Islamabad. Baru setelah itu, pemerintah Pakistan melancarkan serangan terhadap Taliban.

Noman Sattar, seorang profesor dari Universitas Pertahanan Nasional mengatakan, seharusnya pemerintah bergerak lebih cepat.

"Sekarang, untuk pertama kalinya militer memerangi Taliban, dan disebut musuh. Selama ini pemerintah dan militer menyepelekan betapa besarnya bahaya yang mengancam dari berkembangnya Taliban. Padahal Taliban itu ibarat dikasih sejengkal minta sedepa. Begitu pemerintah berkompromi, mereka menuntut yang lebih besar. Namun betapapun persoalan ini harus ditangani secara khusus. Harus diupayakan terjadinya rekonsiliasi. Tanpa itu, sulit dibayangkan terjadinya suatu perdamaian yang langgeng," kata Sattar.

Sejauh ini, jumlah warga sipil yang dipaksa menyingkir menjadi pengungsi dari kawasan yang menjadi medan tempur di Lembah Swat, Pakistan, melonjak hingga mendekati angka dua setengah juta.

GG/DGL/Rtr/AFP/AP