Ekonomi Gig: Pekerjaan Serabutan Penuh Ketidakpastian?
17 Desember 2024Sudah 8 tahun Adi menjadi pengemudi ojek online di Jakarta. Dulu, saat masih bekerja di perusahaan, menjadi pengemudi ojek online ia jalani sebagai pekerjaan sampingan. Namun, ketika wabah Covid-19, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Adi yang kesulitan mencari kerja, mau tidak mau, menjalani profesi itu sebagai pekerjaan utama.
Seperti Adi, meski dengan alasan yang beragam, banyak pencari kerja memutuskan menjadi pengemudi ojek online sebagai jalan pintas dibanding menganggur. Selain tidak membutuhkan keterampilan khusus, fleksibilitas juga menjadi daya tawar menarik. Fleksibilitas inilah yang menjadi salah satu karakteristik utama dalam pekerja gig economy atau ekonomi gig.
Dalam beberapa tahun terakhir, secara global ekonomi gig semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Business Research Insights, memprediksi pasar ekonomi gig global mencapai USD556,7 miliar pada 2024, dan nilainya diperkirakan akan lebih meroket lagi hingga USD1.847 miliar tahun 2032.
Secara singkat, ekonomi gig, atau kerap disebut sebagai ekonomi serabutan, diartikan sebagai pasar tenaga kerja jangka sangat pendek atau tenaga lepas yang dimediasi oleh platform digital. Serabutan, pekerja gig tidak terikat oleh aturan upah minimum atau waktu kerja seperti pekerja outsourcing.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Selain pengemudi ojek online, banyak pekerjaan lain juga yang sudah masuk dalam kategori gig, seperti kurir online, guru privat online, hingga pekerja kreatif.
Karakteristik ekonomi gig memungkinkan seseorang untuk bekerja secara lepas dengan waktu yang lebih fleksibel dan dengan potensi capaian penghasilan yang menjanjikan.
Ekonomi gig, tren global yang diprediksi tumbuh pesat
Tren ekonomi gig diprediksi akan terus tumbuh di tengah kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang didominasi pekerja informal. Menurut BPS per Agustus 2024, hanya 42,05% dari total 144,64 orang penduduk bekerja terserap ke sektor formal dan 57,95% adalah pekerja informal.
Meski tidak ada data resmi yang menunjukkan berapa jumlah pekerja ekonomi gig, studi Permana, Izzati, dan Askar (2023) memprediksi sekitar 430 ribu hingga 2,3 juta orang menjadikan pekerjaan gig sebagai mata pencarian utama.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai ekonomi gig mampu menopang kondisi angka pengangguran di Indonesia yang hingga Agustus 2024, mencapai 7,47 juta jiwa.
Menurut Nailul, ada dua faktor yang mendorong tumbuhnya ekonomi gig. Pertama, pergeseran paradigma anak muda tentang pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas.
Kedua, serapan sektor formal yang masih terbatas jika dibandingkan jumlah angkatan kerja. Sebagai gambaran, data BPS menunjukkan sepanjang periode Agustus 2023 hingga Agustus 2024, hanya sebanyak 4,79 juta orang terserap dalam lapangan pekerjaan formal.
"Pekerjaan formal itu sudah terbatas secara kuantitas, juga dibatasi aturan yang memberatkan. Misalnya, batasan umur. Artinya, jika seseorang yang di-PHK di usia 40 tahun ke atas akan sulit mencari kerja, sehingga mereka bisa terserap ke ekonomi gig,” ungkap Nailul.
Meskipun sekilas ekonomi gig dapat menjadi jalan pintas bagi masalah pengguran, tetapi bukan tanpa celah. Seperti pekerja informal lain, pekerja serabutan juga menghadapi sejumlah kerentanan, dari potensi eksploitasi, upah murah, hingga tak terjamah perlindungan sosial.
Dalam kasus Adi, misalnya, ia menceritakan pengalamannya sebagai pengemudi ojek online. Pada 2015, Adi bisa meraup Rp400.000 hingga Rp500.000 sehari. Namun, kini dengan bekerja 12 jam sehari, ia hanya bisa membawa pulang sekitar Rp100.000 hingga Rp150.000, akibat penurunan tarif dan potongan platform yang mencapai 10%-25%.
Dengan penghasilan itu, Adi mengaku enggan mendaftar ke jaminan sosial pekerja. Menurut perhitungannya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar di Jakarta pun, jumlah itu belum cukup.
Maju mundur regulasi ekonomi gig
Meski ekonomi gig terus berkembang, regulasi yang mengaturnya masih sangat lemah. Jelang akhir masa jabatan pada September 2024, Presiden Jokowi pernah mengingatkan akan tren ekonomi gig atau ekonomi serabutan yang butuh perhatian karena akan dibayangi kerentanan. Menurutnya, kondisi ini akan membuat perusahaan lebih tertarik merekrut pekerja lepas dan pekerja jangka pendek dibanding karyawan tetap.
Pembahasan mengenai aturan ekonomi gig maupun sistem kemitraan juga timbul tenggelam sejak 2021. Wacana ini terakhir kali mencuat kembali pada Maret 2024, saat Kementerian Ketenagakerjaan mengimbau perusahaan platform memberikan THR kepada pengemudi ojek online, meskipun ini ditolak oleh perusahaan.
Pakar Hukum Ketenagakerjaan UGM, Nabiyla Risfa Izzati, mengatakan kekosongan hukum menjadi biang kerok kerentanannya pekerja gig. Tanpa aturan yang jelas, banyak pekerjaan formal berubah menjadi informal dengan sistem kemitraan.
"Pada kacamata pengusaha, tentu lebih menguntungkan mempekerjakan dengan sistem kemitraan. Karena tidak adanya aturan upah minimum, tidak ada aturan jaminan sosial. Sehingga banyak pengusaha yang tadinya mempekerjakan sejumlah posisi sebagai hubungan formal saat ini menjadi hubungan kemitraan,” ungkap Nabiyla kepada DW Indonesia.
Nabiyla menambahkan, selain memastikan kembali aturan main dari sistem kemitraan yang kerap diterapkan pada pekerja gig, pemerintah harus mendorong lebih banyak pekerja informal dan gig yang masuk dalam program jaminan sosial BPJS BPU (Bukan Penerima Upah), dan memberi akses pada pelatihan keterampilan.
Sementara, menurut Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, pemerintah tak perlu menjadikan gig ekonomi sebagai sektor formal. Langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah pengakuan status pekerja gig.
"Yang harus dilakukan pemerintah adalah pengakuan status pekerja gig. Misalnya dengan status hibrida: status antara kontraktor tetap dan pekerja independen. Sehingga kemudian ada aturan (lain) yang menyangkut status hibrida itu," tutur Achmad.
Dari sana menurutnya, pemerintah bisa membuat regulasi mengenai jaminan sosial, hingga aturan tarif minimal yang didasarkan pada biaya hidup layak di masing-masing wilayah. Aspek ini, menurut Achmad, akan mengurangi potensi eksploitasi pekerja gig dan mendorong terpenuhinya kesejahteraan pekerja.
Nailul Huda juga menilai pemerintah tak perlu mendorong pekerja gig masuk ke sektor formal. Namun, ia menitikberatkan perlunya pemerintah mendorong tumbuhnya jenis ekonomi gig dengan tenaga kerja terdidik dengan pendapatan yang layak, serta menjamin tersedianya skema dan akses perlindungan sosial bagi para pekerja gig.
Para pekerja gig, ikuti training dan bersatulah!
Pekerja ekonomi gig dengan keterampilan rendah, seperti pengemudi angkutan online dan kurir online, terancam terjebak dalam low-skilled labor trap atau terjebak dalam pekerjaan yang hanya butuh keterampilan rendah. Ini berpotensi menghambat tumbuhnya penghasilan mereka.
"Pekerja gig ini tidak boleh terjebak pada pekerjaan yang tidak memberikan penghasilan layak. Mereka harus melanjutkan pendidikan atau pelatihan agar skill mereka berkembang," ujar Nailul. Hal ini menjadi penting agar bisa mendapatkan pekerjaan gig yang lebih baik dengan pendapatan yang layak.
Senada dengannya, Pakar Hukum Ketenagakerjaan UGM, Nabiyla Risfa Izzati, juga menekankan pentingnya pelatihan ulang dan pendidikan bagi pekerja di ekonomi gig. Menurutnya, pekerja gig yang terjebak pada sektor informal sering kali tidak berkembang. Akses ke pelatihan keterampilan menjadi krusial agar bisa terserap di pasar kerja.
Sementara, Achmad Nur Hidayat menekankan pentingnya kesadaran pekerja gig untuk memiliki jaminan sosial dan berorganisasi.
"Pekerja muda di ekonomi gig harus berorganisasi untuk menyuarakan hak-hak mereka, hal ini akan membantu pekerja muda memiliki suara dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak mereka," jelasnya.
Editor: Arti Ekawati