1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

240409 Pakistan Taliban

24 April 2009

Kelompok Taliban belum puas dengan pelaksanaan hukum Syariah di lembah Swat dan mulai berpatroli di kawasan dekat Islamad. Sementara, elit politik Pakistan tak mampu menghadapinya

https://p.dw.com/p/Hdjy
Kelompok Taliban dan Lembah SwatFoto: Faridullah Khan

Setelah Pakistan menyepakati pelaksanaan hukum Syariah di lembah Swat dan kawasan sekitarnya, kelompok Taliban tanpa tedeng aling-aling sama sekali tidak menunjukan bahwa mereka sudah puas. Beberapa hari terakhir ini, Taliban secara terbuka berpatroli di distrik Buner dan menunjukan bahwa mereka juga menguasai kawasan yang mendekati ibukota Pakistan. Sementara itu, elit politik Pakistan tampak tak mampu menghadapi tantangan ini.

Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pekan ini mengkritik keras Pakistan yang dituding mengalah kepada Taliban dan mengizinkan pemberlakuan Syariah di lembah Swat. Dalam acara tanya jawab di Kongres itu, ia juga mempertanyakan sikap warga Pakistan di dalam maupun di luar negeri.

“Saya tidak mendengar suara protes atau keresahan besar dari masyarakat Pakistan yang bisa bergaung sampai ke eselon-eselon tertinggi pimpinan sipil dan militer Pakistan,” demikian Hillary Clinton.

Sebenarnya, di Pakistan bukannya tak ada protes terhadap kesepakatan dengan Taliban. Kaum liberal, termasuk harian “Dawn“ menentang keras kesepakatan itu. Iqbal Haider, wakil Ketua Komisi HAM Pakistan yang independen mengecamnya: "Saya bingung, kok bisa parlemen dalam waktu kurang dari dua jam, menyepakati dokumen untuk pemberlakuan Syariah itu. Pasti sama sekali tanpa membacanya. Dokumen itu terdiri dari 50 halaman dan meliputi sedikitnya 117 peraturan! Kesepakatan itu tak lain adalah kapitulasi!“

Namun memang suara kritis seperti ini merupakan pengecualian dalam perdebatan publik. Dalam ronde diskusi di televisi, yang merebak adalah teori komplot, di mana ada kekuatan asing di balik Taliban yang memainkan peran besar. Padahal sebelumnya, justru militer Pakistan yang mendukung kelompok-kelompok militan Islam untuk menjaga kepentingan luar negerinya di Afghanistan dan Kashmir.

Kini militerpun tak bisa menyelesaikan masalah ini. Para politisi juga sudah kehabisan akal. Partai regional Paschtu, ANP, yang memerintah di provinsi perbatasan Barat Laut dulu begitu mendesak agar diadakan kesepakatan itu. Sedangkan di Islamabad, partai rakyat, People's Party, yang dipimpin Presiden Zardari mendukung kesepakatan itu dengan harapan dapat mengisolasi masalahnya. Pakar Urusan Keamanan, Ayesha Siddiqa menilai: “Ini kebingungan total. Semua orang berusaha mempertahankan kekuasaannya. Pemerintahan PPP tetap ingin berada di pusat, ANP ingin berkuasa di perbatasan, yang terjadi kini adalah kesemrawutan besar. Ini merupakan puncak instabilitas, dengan semua pihak berusaha menghindari kenyataan.”

Ini tidak berarti bahwa rakyat Pakistan bersimpati pada Taliban. Dalam pemilihan parlemen tahun 2008 lalu, rakyat Pakistan memberi isyarat jelas menolak partai-partai berbasis agama. Mereka juga menolak sepenuhnya kaum milisi radikal. Banyak orang yang berpandangan sama dengan Shahid, penjual Sirih di Karachi, yakni bahwa untuk memberlakukan Shariah pun diperlukan aturan hukum, pengadilan dan hakim. Bukan semata memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan, seperti yang dilakukan kaum Taliban sekarang.

Thomas Bärthlein/Edith Koesoemawiria

Editor: Yuniman Farid