1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Harga Pangan Sulut Kemarahan Kaum Miskin India

14 Mei 2008

Keresahan, kejengkelan dan kemarahan warga di kawasan kumuh di India semakin meningkat, sehubungan dengan terus melonjaknya harga bahan pangan.

https://p.dw.com/p/Dzzd
Foto: dpa

Salah seorang warga India yang merasakan langsung dampak kenaikan harga pangan adalah Satte, seorang pengrajin pantai besi di kawasan kumuh Kotla Mubarak Pur, di selatan pusat kota New Delhi. Ia bekerja di bengkel yang amat sederhana di alam terbuka. Dibelakangnya terdapat sebuah gubuk kecil beratap jerami, berdinding seng, plastik dan karton tanpa listrik, air ataupun sarana sanitasi. Di gubuk itu ia tinggal bersama isteri dan tujuh orang anaknya. Satte mengatakan:

"Kami menderita akibat kenaikan harga pangan. Bagi pemerintah, itu semuanya bukan masalah. Hanya, kami yang miskin, yang harus membayar lebih mahal. Hari ini saya hanya mendapatkan uang 50 Ruppe. Uang sebesar itu, tidak bisa membeli teh."

Dengan penghasilan yang sangat kecil, keluarga Satte sejak beberapa pekan, tidak mampu lagi membeli beras dan sayuran. Mereka hanya mampu memasak saus encer dari minyak, tomat dan bawang, yang kemudian dimakan dengan roti yang dibuat sendiri. Sementara itu seorang tetangganya, dengan nada marah menuding pemerintah yang bersalah bagi kenaikan harga pangan.

"Siapa lagi yang bersalah kalau bukan pemerintah. Coba lihat. Seikat sayur ini berharga 8 Ruppe. 100 gram minyak goreng harganya 6 Rupee. Tepung yang sedikit ini harganya 30 Ruppe. Bumbu dan kayu bakar juga harus dibeli. Saya memerlukan uang sekurangnya dua kali lipat dari penghasilan suami saya. Jadi dari hari ke hari, kami hidup, ibarat dari tangan langsung kemulut."

Kawasan kumuh Kota Mubarak Pur sama sekali tidak tersentuh oleh pertumbuhan ekonomi pesat yang dicapai India. Di kawasan ini orang tak bicara mengenai boom pembangunan atau teknologi komputer yang canggih, melainkan apa yang akan dimakan hari ini. Pakar politik dan penerbit Mahesh Rangarajan mengatakan:

"Harga bahan pangan yang melejit, merupakan masalah besar bagi pemerintah. Pemerintahan koalisi dibawah pimpinan Partai Kongres pertengahan tahun 2004 lalu menjanjikan untuk menangani warga yang miskin. Di India hidup lebih dari satu miliar jiwa. 77 persen diantaranya hidup dengan pendapatan di bawah dua Dollar sehari. Pemerintah harus mempertanyakan, apakah ini artinya bagi proses pembaruan ekonomi. Bila harga bahan pangan tetap melejit, tak ada yang peduli terhadap pertumbuhan ekonomi lebih dari delapan persen."

Mahesh Rangarajan juga mengungkapkan angka statistik yang menunjukkan harga susu di New Delhi naik sebesar 11 persen dibandingkan tahun lalu. Harga minyak goreng meningkat 40 persen. Harga beras naik sebesar 20 persen. Melejitnya harga bahan pangan, juga memicu terjadinya inflasi yang diperkirakan mencapai lebih dari tujuh persen.

Awal tahun 2009 mendatang, India kembali menyelenggarakan pemilihan parlemen. Bila harga bahan pangan tetap tidak terjangkau, maka pemerintah Perdana Menteri Manmohan Singh akan mengalami kekalahan, meskipun berhasil mencapai kemajuan di bidang ekonomi. Sementara di sektor pertanian yang diandalkan sebagian besar warga India, pertumbuhannya hanya mencapai di bawah dua persen.(ar)