1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AFP: IKN Bahayakan Masyarakat Adat dengan 'Bencana Ekologis'

11 Januari 2023

Dalam laporan yang dimuat AFP, WALHI khawatir pembangunan IKN akan menyebabkan bencana jadi “lebih parah dan jauh lebih sulit untuk dimitigasi dibandingkan dengan bencana alami."

https://p.dw.com/p/4Lzo6
Joko Widodo
Foto: Laily Rachev/ Presidental Office

Hutan hujan lebat, perkebunan, hingga monyet yang sesekali lewat, menjadi pemandangan yang kerap ditemui saat berkendara menuju ibu kota baru Indonesia, di Kalimantan.

Di pulau terbesar ketiga di dunia itu, ibu kota baru Indonesia “Nusantara” sedang dibangun untuk menggantikan Jakarta yang diprediksi akan tenggelam.

Namun, perjalanan selama dua jam dari Kota Balikpapan ke hamparan hijau menuju "Titik Nol" Nusantara mengungkapkan skala dampak pembangunan ibu kota baru, terhadap area hayati yang merupakan rumah bagi ribuan spesies hewan dan tumbuhan.

Para pemerhati lingkungan memperingatkan bahwa dengan dibangunnya kota metropolitan, akan mempercepat deforestasi di salah satu hamparan hutan hujan tropis terbesar dan tertua di dunia itu, yang diperkirakan berusia lebih dari 100 juta tahun.

“Ini akan menjadi bencana ekologis yang masif,” ujar Uli Arta Siagian, Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, kepada AFP.

Kalimantan yang disebut "paru-paru dunia, yang juga bersinggungan dengan Malaysia dan Brunei, adalah rumah bagi bekantan, macan tutul, kera, babi, kelelawar, rubah terbang dan badak.

Tampung 1,9 juta penduduk di 2045

Pemerintah Indonesia mengatakan Nusantara akan menampung 1,9 juta penduduk, lebih dari dua kali populasi Balikpapan, pada tahun 2045.

Relokasi ibu kota ke area 2.560 kilometer persegi itu, sama seperti perpindahan ibu kota di Brasil ke Brasilia - yang dianggap sebagai kegagalan utopia perkotaan - dan Myanmar ke “kota hantu” Naypyidaw. 

Menurut Uli Arta, perubahan drastis terhadap topografi daratan dan bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia “akan menjadi lebih parah dan jauh lebih sulit untuk dimitigasi dibandingkan dengan bencana alami." 

Selain itu, Indonesia juga memiliki salah satu laju deforestasi tertinggi di dunia terkait dengan pertambangan, pertanian dan pembalakan, yang diduga akibat aktivitas perusahaan yang beroperasi di Borneo.

Bagaimanapun, pemerintah mengatakan ingin ada penyebaran dan pemerataan pembangunan ekonomi. Selama ini kegiatan ekonomi sudah lama berpusat di Jawa, pulau yang padat penduduk.

Dan Presiden Joko Widodo telah berulang kali menyatakan tentang visi kota "hijau", di area seluas empat kali ukuran Jakarta itu.

Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), Bambang Susantono, juga telah mempresentasikan rencana awal mengenai janji menerapkan netral karbon pada tahun 2045, lewat apa yang ia sebut sebagai kota hutan berkelanjutan pertama di dunia. 

Nasib Masyarakat Adat

Sibukdin, pemimpin suku Balik, khawatir pembangunan IKN akan mengusir warganya dari tempat mereka tinggal.

Seperti kelompok Adat lainnya di Kalimantan, ribuan anggota suku Balik bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sibukdin mengatakan lebih dari 90 persen dari hutan yang digunakan oleh suku Balik untuk berburu dan mencari makan telah hilang akibat kegiatan komersial sejak 1970-an.

Pemakaman suku terdekat yang dibongkar karena proyek bendungan, membuat Sibukdin "patah hati".

"Ini menghapus jejak kami," kata Sibukdin.

Pemerintah telah bersumpah untuk menghormati hak adat dan memberikan kompensasi bagi mereka yang terkena imbas pembangunan Nusantara, namun pejabat provinsi mengatakan mereka hanya akan memverifikasi semua klaim tanah, dengan bukti kepemilikan tanah.

Padahal menurut Sibukdin, tidak semua daerah suku Balik telah diakui secara formal.

Menelan biaya ratusan triliun rupiah

Menurut perkiraan pemerintah, proyek pembangunan IKN akan menelan biaya Rp466 triliun. Uang pembayar pajak diharapkan dapat menutupi sekitar 20 persen dari total biaya.

Pemerintah telah merayu investor potensial, termasuk Arab Saudi dan Cina, tapi pendanaan masih sulit tercapai.

Konglomerat teknologi Jepang SoftBank sebelumnya dilaporkan menarik dukungannya untuk proyek IKN di bulan Maret tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Eka Permanasari, profesor desain perkotaan dari Monash University Indonesia, memperingatkan bahwa masih banyak “pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan”.

Kehidupan sudah berubah buruk untuk sebagian penghuni hewan asli selama ini.

Di rumah orangutan, tempat bagi sekitar 120 kera, perambahan ilegal telah intensif dilakukan sejak lokasi IKN diumumkan.

Meningkatnya aktivitas juga mengancam semua jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan di hutan kuno ini.

Agus Bei, pengelola pelestarian mangrove, memperingatkan bahwa dengan memotong bentangan hijau ini demi keuntungan semata hanya akan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan.

“Generasi berikutnya hanya akan mengetahuinya lewat cerita,” kata Agus.

pkp/gtp (AFP)