Gelombang Eksekusi Kedua?
19 Januari 2015
Sedikitnya lima puluh nota diplomatik dan pembicaraan telepon dibuat antara Canberra dan Jakarta dalam delapan tahun terakhir, kata Menteri Australia Julie Bishop. Isinya adalah permohonan pengampunan buat dua warga negeri jiran itu yang terlibat kasus penyeludupan narkoba dan divonis mati oleh pengadilan Indonesia.
Kini, setelah pemerintah memerintahkan eksekusi mati terhadap enam terpidana narkoba pada Minggu (18/1), "Perdana Menteri kembali mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi," kata Bishop ihwal upaya atasannya itu buat menghentikan langkah regu tembak.
Upaya serupa sebenarnya telah pula dibuat oleh Presiden Brasil, Dilma Roussef dan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte serta raja Wilem-Alexander. Seperti juga Tony Abott, ketiganya menghubungi langsung Jokowi untuk meminta pengampunan bagi warga negaranya.
Jokowi Bergeming, Eksekusi Berjalan
Tapi apa daya, Istana Negara membatu. Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil), Ang Kiem Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria) dan Rani Andriani (Indonesia) akhirnya melepas nyawa di tangan algojo.
Presiden Joko Widodo yang naik tahta Oktober silam menolak mengampuni ke-enam terpidana mati. Dan eksekusi tersebut sekaligus menjadi prahara diplomatik pertama yang dibuatnya.
Brasil mengecam. Langkah pemerintah "menciptakan batu dan akan selamanya membayangi hubungan bilateral," antara kedua negara, kata Marco Aurelio Garcia, penasehat presiden untuk urusan luar negeri Brasil. "Tidak ada sensitivitas dari pemerintah Indonesia dalam hal ini," ujarnya.
Sebagai protes, Brasil dan Belanda menarik duta besarnya dari Indonesia.
Gelombang Eksekusi Selanjutnya?
Nasib buruk juga sedang menanti Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Warga negara Australia itu dibekuk aparat saat hendak menyeludupkan 8,3 kilogram heroin di Bali bersama tujuh lainnya. Sukumaran dan Chan divonis mati. Sementara sisanya dikurung untuk waktu lama.
Pemerintah berdalih, eksekusi mati diperlukan untuk menciptakan efek jera. Indonesia, tukas Jaksa Agung HM Prasetyo, sedang dalam kondisi darurat narkoba.
Banyak yang tidak sepakat dengan alasan pemerintah itu. Eskekusi mati dinilai tidak berdampak apapun terhadap peredaran obat-obatan terlarang di Indonesia atau angka pecandu narkoba. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bahkan menilai, pemerintah cuma "mengeksekusi kurir," sementara bandar besar dibiarkan tak tersentuh, kata Koordinator Kontras Haris Azhar kepada Kompas.
Kini kejaksaan sedang menyiapkan gelombang kedua eksekusi mati. Sebanyak 64 nama masuk dalam daftar terpidana yang menunggu ajal di penjara. Hingga kini belum jelas siapa yang akan giliran menghadap regu tembak.
rzn/vlz (rtr,dpa,ap,kompas,tempo)