1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Iran: Perempuan, Hidup, Kebebasan, Setahun Mahsa Amini Tewas

15 September 2023

Tahun lalu, perempuan muda Iran bernama Jina Mahsa Amini, 22, meninggal dalam tahanan polisi. Kematiannya memicu gerakan protes berkepanjangan yang mengubah Iran.

https://p.dw.com/p/4WL5N
Protes perempuan Iran di London, Inggris
Protes perempuan Iran di London, InggrisFoto: Justin Ng/Avalon/picture alliance/Photoshot

Sekitar seminggu sebelum peringatan tahun pertama kematiannya, keluarga Jina Mahsa Amini muncul di publik Iran. Pada tanggal 8 September, mereka mengumumkan di Instagram bahwa mereka ingin berkabung di makam Mahsa pada tanggal 16 September.

Seperti halnya keluarga yang berduka, kerabatnya akan mengadakan upacara di pemakaman secara keagamaan dan tradisional untuk putri tercinta mereka. Namun, keluarga Mahsa telah secara ketat diawasi aparat keamanan Iran dalam setahun belakangan ini.

Aparat tidak hanya mengawasi keluarga itu. Mereka memantau sejumlah pemakaman di negara tersebut untuk mencegah terjadinya kerumunan, karena ini dapat dengan cepat memicu protes seperti tahun lalu. Penguasa Iran ingin mencegah terulangnya hal itu. Keluarga korban berada dalam tekanan yang sangat besar.

"Kami belum pernah melihat penangkapan besar-besaran dan penangkapan anggota keluarga korban seperti ini sebelumnya," tulis aktivis hak asasi manusia Shiva Nazar Ahari saat ditanya DW. Nazar Ahari adalah anggota Komite Hak Asasi Manusia Iran. Dia berulang kali ditangkap selama beberapa dekade terakhir dan menghabiskan beberapa tahun di penjara. Sejak Oktober 2018, ia tinggal di Slovenia. 

"Sejauh ini sudah lebih dari 40 kerabat korban yang ditangkap. Dan jumlah penangkapan ini terus bertambah setiap harinya," kata Ahari. "Aktivis politik dan sosial dijebloskan ke penjara, diinterogasi atau diancam. Mungkin metode ini untuk sementara dapat mencegah kembali terjadinya protes."

Kematian Amini memicu protes besar-besaran

Jina Mahsa Amini ditangkap 13 September tahun 2022, saat melakukan perjalanan ke ibu kota Teheran dan dibawa ke kantor polisi. Diduga karena dia tidak mengenakan jilbab dengan benar. Di Iran, ada kewajiban ketat bagi perempuan untuk mengenakan jilbab jika berada di depan umum. Beberapa jam kemudian dia dibawa dari tahanan polisi ke rumah sakit dalam keadaan sudah tak bernyawa. Baru tiga hari kemudian, pada 16 September, Jina Mahsa Amini secara resmi dinyatakan meninggal.

Protes massal menuntut transparasi penyebab kematian perempuan muda ini dimulai pada pemakaman Jina Mahsa Amini di kampung halamannya di Saghes, sebuah Kota Kurdi di Iran barat. Protes dengan cepat menyebar ke seantero Iran. Para peserta yang kebanyakan remaja putri melepas jilbabnya. Motto mereka: "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan." 

Protes massa di Teheran, Iran, pada 20 Oktober 2022
Protes massa di Teheran, Iran, pada 20 Oktober 2022, menyusul tewasnya Masha Amini dalam tahanan polisi.Foto: ZUMA Press/picture alliance

Unjuk rasa ini pun berkembang menjadi protes terbesar dan terlama sejak berdirinya Republik Islam Iran pada 1979. Pemerintah menanggapi protes demonstran dengan aksi kekerasan bersenjata dan penindasan besar-besaran. Jumlah pasti korban tewas sulit diperoleh, tetapi menurut organisasi hak asasi manusia independen, pasukan keamanan di Iran menewaskan sedikitnya 527 demonstran, termasuk 17 anak di bawah umur, selama protes antara 16 September 2022 hingga akhir Januari 2023.

Di Iran, jilbab jadi simbol penindasan sistematis

Aktivis hak asasi manusia Shiva Nazar Ahari yakin bahwa protes ini telah mengubah hubungan politik dan sosial dalam masyarakat Iran secara permanen. Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah mengenai penampilan baru perempuan di depan publik. Meskipun ada tindakan hukuman yang lebih ketat seperti denda, banyak perempuan Iran menolak kewajiban mengenakan jilbab. Mereka melihat jilbab sebagai simbol penindasan dan penghinaan sistematis dan tidak mau lagi mengikuti aturan yang terkait dengannya.

Sejak Revolusi Islam, citra perempuan memainkan peran penting dalam ideologi negara. Seorang perempuan tanpa jilbab dipandang sebagai simbol gaya hidup Barat yang liberal dan dipandang oleh kekuatan konservatif sebagai serangan budaya terhadap budaya Islam. Citra perempuan yang disebarkan oleh sistem politik Iran adalah perempuan yang tidak hanya berhijab, tapi juga tunduk dan taat. 

Perempuan Iran didiskriminasi selama beberapa dekade. Hal ini juga dibenarkan oleh laporan World Economic Forum Foundation (WEF). Dalam 'Laporan Kesenjangan Gender' tahun 2022, negara ini menempati peringkat 143 dari 146 negara secara internasional. WEF mengkaji kesetaraan gender di bidang bisnis, pendidikan, kesehatan dan politik. Partisipasi politik perempuan khususnya memainkan peran yang menentukan dalam pemeringkatan ini.

Kala penguasa Iran perangi rakyat sendiri

"Kami sedang menghadapi gerakan progresif yang akan membuahkan hasil dalam jangka panjang," ujar pematung terkenal internasional, Barbad Golshiri, yang kini tinggal di Paris. Sebagai putra penulis kontemporer Houshang Golshiri, ia memiliki koneksi yang baik dalam kancah budaya dan seni Iran.

Dalam sebuah wawancara dengan Deutsche Welle, dia berkata: "Gerakan Perempuan, Kehidupan, Kebebasan, saat ini mengarah kepada revolusi budaya dari lapisan masyarakat paling bawah. Gerakan ini mempertanyakan nilai-nilai yang telah dipaksakan oleh para penguasa lalim ke dalam masyarakat mereka sejak tahun 1980-an." 

Pada saat itu, sebagai bagian dari Revolusi Islam, penguasa mengislamkan sistem pendidikan, memaksa perempuan mengenakan jilbab jika berada di depan umum, dan mengirim pekerja budaya dan ilmuwan independen ke pengasingan atau menangkapi mereka. Pada akhir tahun 1980-an, tahanan politik dieksekusi secara massal.

Pada 22 Agustus 2023, Parlemen Iran menyetujui undang-undang kontroversial yang akan menjatuhkan hukuman lebih berat bagi mereka yang melanggar aturan berpakaian islami. Ini termasuk hukuman hingga 15 tahun penjara karena berbagai pelanggaran. Mempublikasikan foto perempuan tanpa jilbab secara online juga termasuk tindak pidana. 

Selain itu, larangan keluar rumah juga direncanakan. Pengadilan mengancam akan menutup supermarket, restoran, dan museum yang mengizinkan masuknya perempuan tanpa jilbab. Jika perempuan bercadar dihina, pelakunya berisiko dipenjara selama enam bulan dan menerima 74 cambukan. Dengan cara ini, mereka yang berkuasa mencoba untuk memecah belah warga.

Tuntutan diberlakukannya sekularisasi

Kematian Jina Mahsa Amini juga menggerakkan warga Iran di luar negeri. Pada Oktober 2022, orang-orang Iran yang diasingkan di Jerman mengadakan unjuk rasa solidaritas di Berlin. Menurut perkiraan polisi, sekitar 80.000 orang ambil bagian dalam protes itu. Sebagai tanda pengakuan, pada Konferensi Keamanan München Februari 2023, aktivis oposisi Iran untuk pertama kalinya muncul ke podium, alih-alih perwakilan pemerintah.

"Membentuk oposisi di Iran sangat sulit karena penindasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan. Banyak yang memperkirakan atau berharap bahwa nama-nama besar dan tokoh-tokoh besar akan membangun oposisi di antara jaringan orang-orang exil Iran," kata Arash Azizi, Pakar Timur Tengah di Universitas New York.

"Ada kekecewaan besar ketika beberapa tokoh berpisah setelah mereka sempat bergabung. Mencapai kesepakatan di antara orang-orang Iran yang diasingkan tampaknya sangat sulit. Pada akhirnya, mereka sibuk sendiri. Menurut pendapat saya, kekuatan penentu perubahan di Iran terletak pada banyaknya orang-orang pemberani yang saat ini berada di balik jeruji besi. Hanya mereka yang bisa melakukannya."

(ae/as)