1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekerasan Terhadap Perempuan, Mungkinkah Dihapuskan?

6 Desember 2024

Kekerasan terhadap perempuan masih terjadi secara masif. Ruang lingkupnya makin berkembang. Tidak hanya secara fisik, kekerasan bisa terjadi dalam berbagai bentuk, di berbagai tempat.

https://p.dw.com/p/4nqQS
Tangan dengan gestur menolak
Ilustrasi menolak kekerasanFoto: Colourbox

Fatia Maulidiyanti dan Vega Novianti adalah dua perempuan yang berjalanan di dua ranah berbeda. Keduanya menjadi bukti bahwa kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja, melintasi ruang dan strata masyarakat. Kini, mereka berjuang untuk menginspirasi perempuan lainnya. 

Kepada DW Indonesia, mereka membagikan kisah sebagai penyintas kekerasan karena identitasnya sebagai perempuan. Tidak sedikit perempuan yang berhasil bangkit seperti Fatia dan Vega. Kenyataan di lapangan menunjukan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih terjadi secara masif. 

Berkembangnya kekerasan berbasis gender di era digital

Menjadi seorang perempuan pejuang hak asasi manusia sejak 2014, tak lantas melepaskan Fatia dari risiko tindak kekerasan. Mantan koordinator KontraS ini pernah menjadi korban kekerasan siber berbasis gender (KSBG). Ia menghadapi berbagai serangan verbal dan intimidasi melalui media sosial karena aktivismenya.

"Jadi pembela HAM saja sudah riskan, perempuan pembela HAM punya layer berikutnya lagi, stigmatisasi yang begitu kuat dalam melihat perempuan vokal, serangan terhadap identitas gender, bahkan ancaman kepada keluarga,” ungkap Fatia.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Salah satu yang tak bisa ia lupakan, ketika menghadapi persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut Pandjaitan, mantan Mekopolhukam era Jokowi. "Di media sosial banyak sekali yang merendahkan identitas saya sebagai perempuan, dianggap hanya cocok di dapur, tidak tahu apa-apa, dikutuk untuk cepat masuk penjara, hanya melihat saya sebagai sosok perempuan secara fisik. Cukup traumatis dan sempat membuat saya memutuskan untuk tidak lagi punya akun media sosial twitter (X),” ujarnya.

Meski merasa terpojok, Fatia tidak membiarkan pengalaman itu meruntuhkan semangatnya. Sebaliknya, ia menjadikannya sebagai dorongan untuk lebih vokal dalam memperjuangkan hak masyarakat, baik di dunia maya maupun nyata.

"Jika karena ancaman-ancaman itu saya mundur, justru akan memberikan contoh buruk, saya terus melawan hingga titik akhir untuk memperlihatkan bahwa perempuan itu harus berani, selama yang kita perjuangkan benar dan saat itu kami juga memperjuangkan hak-hak masyarakat yang tertindas," tegas Fatia kepada DW Indonesia. 

Pentingnya mengenal dan mencintai diri sendiri

Vega, adalah penyintas body shaming atau dalam ketegori kekerasan Komnas Perempuan, masuk dalam jenis pelecehan seksual secara verbal. Kini berusia 33 Tahun, Vega mengalami perundungan karena fisik sejak Sekolah Dasar.

"Anak-anak cowok ya khususnya, bergerombol mengejek dan membuat singkatan-singkatan yang mereka anggap lucu, misalnya ‘pegdut' atau Vega gendut, dan tertawa. Hingga kuliah pun teman saya ada yang membandingkan saya dengan adik saya yang kulitnya putih dan bilang "anak pertama emang percobaan," tuturnya. 

Vega mencoba menganggap ejek-ejekan tersebut angin lalu. Namun tak menampik bahwa harassment dan body shaming yang ia alami, membuatnya trauma. "Saya sering menganggapnya bercanda, tapi lama-kelamaan sedih juga, makin dewasa makin memperhatikan penampilan dan ada satu titik dimana saya tidak mau berangkat sekolah, mengurung diri di kamar. Setelah lulus kuliah, berat badan saya juga meningkat drastis, saya sempat sangat minder dan enggak pede."

Bagi Vega, yang kini fokus di dunia fesyen, mengenali dan mencintai diri sendiri serta menemukan lingkungan yang tepat, menjadi kunci mengembalikan kepercayaan diri.

"Menyakitkan, tetapi saya belajar untuk mencintai diri sendiri, saya ikut berbagai kegiatan Plus Size, sebuah wadah fashion bagi perempuan yang memiliki tubuh gemuk, dan saya menemukan titik balik. Sekarang saya ingin menunjukkan bahwa perempuan, apa pun ukuran tubuhnya, berhak merasa cantik dan percaya diri," kata Vega, yang kini aktif mempromosikan pakaian perempuan untuk segala ukuran, termasuk plus size.

Kekerasan terhadap perempuan & fenomena gunung es

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, aduan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih masif. Kepada DW Indonesia, Veryanto Sitohang, Komisioner Kompas Perempuan menjelaskan, dalam catatan tahunan Komnas Perempuan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat.

Permasalahan lainnya, ditemukan banyak yang tidak dilaporkan sehingga diyakini merupakan ‘enomena gunung es. "Penegakan hukum dan dukungan publik yang belum terlalu kuat pada perempuan korban, membuat pelaku merasa memiliki impunitas dan korban enggan untuk melaporkan. Oleh karenanya, ketika ada perempuan menjadi korban, mari ciptakan situasi yang kondusif bagi korban untuk berani bersuara," kata Veryanto.

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2023, dari tiga ranah kekerasan; personal, publik dan negara, kekerasan di ranah personal mendominasi laporan aduan, dengan jenis kekerasan yang beragam mulai dari kekerasan seksual, psikis, fisik, hingga ekonomi. 

Sedangkan dua ranah lainnya tercatat mengalami peningkatan signifikan. Kekerasan perempuan di ranah publik meningkat 44% dari 2.910 kasus di 2022 menjadi 4.182 kasus di 2023, dan ranah negara meningkat 176% dari 68 kasus di 2022 menjadi 188 kasus di 2023.

Veryanto juga mendorong agar masyarakat, khususnya perempuan, memanfaatkan kanal-kanal pelaporan dan pengaduan yang tersedia, tak hanya bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan tapi juga siapa pun yang mengetahui dan menyaksikan tindak kekerasan tersebut. 

"Banyak yang bisa diakses, ada carilayanan.com, media sosial Komnas Perempuan, atau hotline Komnas Perempuan di nomor (021) 3903963, saya pikir kanal-kanal ini penting untuk dicatat misalnya kita menyaksikan atau jadi korban kekerasan, ada pihak yang bisa dimintai pertolongan," tutur Veryanto.

Berawal dari pembunuhan perempuan di Dominika

Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional pada 25 November berawal dari tragedi pembunuhan tiga saudara perempuan Mirabal di Republik Dominika pada tahun 1960. Mereka dibunuh karena menentang kediktatoran dan berjuang untuk hak-hak perempuan.

Sejak itu, tanggal 25 November menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan terhadap perempuan. Peringatan ini diikuti dengan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang dimulai pada 25 November hingga 10 Desember, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan perhatian global bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Baik Fatia maupun Vega berharap agar semakin banyak perempuan berani berbicara dan melawan kekerasan yang bisa terjadi di berbagai tempat, dalam berbagai bentuk. Mereka ingin melihat dunia yang lebih inklusif, aman, dan mendukung perempuan untuk berkembang tanpa rasa takut atau stigma.

Keduanya juga menyampaikan, salah satu bentuk dukungan paling sederhana namun berdampak bagi para perempuan korban kekerasan, ialah mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian. 

Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami kekerasan, jangan ragu untuk melapor. Jika Anda butuh pendamping untuk melapor ke Polisi, Anda bisa menghubungi atau melaporkan terlebih dahulu melalui lembaga swadaya masyarakat terkait yang bisa dicari melalui media sosial, ataupun hotline lembaga layanan pengaduan melalui fitur speed dial di aplikasi SAPA 129, pesan WhatsApp ke nomor 08111-129-129, atau telepon ke 129.

Editor: Arti Ekawati

Iryanda Mardanuz
Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia