1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekerasan Tidak Surutkan Protes Pro-Demokrasi Iran

23 Juni 2009

Penguasa Iran mengerahkan semua potensi kekerasan, untuk menghadang protes pro-demokrasi. Sekarang makin banyak warga Iran yang tidak takut lagi menghadapi Dewan Garda Revolusi.

https://p.dw.com/p/IXTn



Situasi aktual di Iran tetap menjadi tema komentar dalam tajuk harian-harian internasional.

Harian Perancis Le Monde yang terbit di Paris dalam tajuknya berkomentar :

Seluruh aparat penindasan di republik Islam Iran, polisi, pasukan khusus Garda Revolusi, tentara bayaran serta milisi bersenjata pendukung rezim, dikerahkan untuk melakukan tugas yang kotor. Tapi tidak ada hasilnya. Rakyat Iran dari berbagai lapisan dan kelompok umur terus turun ke jalanan. Beberapa diantaranya membayar aksi protes dengan nyawanya. Mereka kini menantang secara terbuka Ayatullah Ali Khamenei, pimpinan religius sekaligus penguasa tertinggi rezim otoriter di Iran. Oposisi menuntut sebuah negara hukum, bukannya penguasa yang sewenang-wenang.

Harian liberal kanan Spanyol El Mundo yang terbit di Madrid juga menulis komentar senada :

Banyak warga Iran tidak takut lagi kepada rezim di Teheran. Para Ayatullah ketakutan, akan kehilangan kekuasaan totalnya atas republik Islam Iran. Hal ini menjelaskan, mengapa mereka bereaksi amat brutal dan sinting, menghadapi aksi protes oposisi. Reaksinya dapat menjadi sebuah buku panduan bagi sistem kekuasaan tirani. Rezim tsb di dalam negeri menindas secara brutal lawan politiknya, sekaligus mencari musuh di luar negeri. Itulah sebabnya, mengapa Teheran menuduh barat mengorganisir komplotan jahat. Tidak dapat dibantah lagi, landasan republik Islam Iran kini mulai goyah. Hal itu tidak ada kaitannya dengan komplotan apapun di luar negeri. Bibit dari perlawanan itu berada di dalam negeri.

Sementara harian liberal Austria Der Standard yang terbit di Wina dalam komentarnya menyoroti peranan teknologi canggih dalam aksi demonstrasi di Iran.

Sebuah rezim otoriter, juga tetap memerlukan suara rakyat untuk membangun kekuasaannya. Jika hal itu lenyap, akibat kejadian yang sulit dikendalikan, dengan cepat akan terlihat dengan jelas betapa rapuhnya sistem tsb. Penindasan adalah pengganti yang amat buruk bagi legitimasi politik. Dan akhirnya orang melihat, di Iran teknologi merupakan lawan yang sulit ditundukkan oleh penguasa. Internet bisa diblokir, tapi Twitter tidak bisa. Tapi, juga jika perkembangan di Iran masih menunjukan perubahan positif, hal ini bukan merupakan alasan untuk dapat meyakini kembalinya demokrasi seperti tahun 90-an. Walaupun demikian, pandangan yang belakangan selalu digembar-gemborkan, bahwa masadepan dunia adalah milik kelompok otoriter dan rezim kapitalis negara, hal itu juga terlalu sembrono. Sebab, politik selalu dipenuhi kejutan.

Terakhir harian Jerman Stuttgarter Zeitung yang terbit di Stuttgart berkomentar :

Dilucutinya kekuasaan kasta para Mullah dan kembalinya mereka ke bawah payung otoritas negara, bagi Theologi politis merupakan sambungan balik ke tradisi pemikiran Syiah sebelum tahun 1979, yang merupakan pertanda berakhirnya sebuah zaman dalam republik Islam Iran. Bukan hanya para pemimpin revolusi juga Dewan Garda Revolusi Iran kini mendapat tekanan semakin berat. Mula-mula Garda Revolusi menyetujui penghitungan ulang kartu suara secara acak. Kelihatannya sudah ditemukan kecurangan pertama. Tapi kemudian dibantah kembali oleh rezim penguasa. Hari Minggu mendatang, jika kesimpulannya diumumkan akan diketahui lebih banyak lagi.


AS/dpa

Editor : Ayu Purwaningsih