1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kendati Berbahaya, Migran Afrika Kian Sesaki Libya

16 Juli 2024

Kendati ramai penyelundup manusia, milisi bersenjata dan kuburan massal, migran Afrika berbondong-bondong datang ke Libya untuk menyebrang ke Eropa. Solusinya memerlukan tekanan internasional.

https://p.dw.com/p/4iLuD
Migran Afrika di perbatasan Libya-Tunisia
Migran Afrika di perbatasan Libya-TunisiaFoto: Hazem Turkia/AA/picture alliance

Pada suatu Rabu pagi, aparat keamanan Libya secara tiba-tiba menyerbu sebuah kafe di kota pesisir Zuwara, dekat perbatasan Tunisia. Di sana, sekelompok migran sedang menunggu calon majikan potensial. Mereka ditangkap dan dibawa pergi secara acak.

Michael Shira berusia 19 tahun dan berasal dari Nigeria. Dia juga berada di kafe pagi itu, tapi berhasil lolos dari penangkapan. "Kami terus-menerus hidup dalam ketakutan,” katanya kepada DW. "Pihak berwenang Libya saat ini menangkap setiap migran yang mereka lihat.”

Shira bersembunyi di Libya sejak beberapa bulan. Dia sedang mencari pekerjaan dan menunggu kesempatan untuk menyeberang ke Eropa dengan perahu. "Pertama kali saya tiba di Tunisia, polisi mengejar saya,” lapornya. Dia hampir ditangkap ketika mencoba melintasi perbatasan ke Libya.

"Mereka ingin menyerahkan kami para migran kepada pihak berwenang Libya dan semua orang tahu apa yang terjadi kemudian,” kata remaja tersebut. Dalam banyak kasus, migran seperti dirinya berakhir di kamp-kamp interniran di Libya.

Siapa dikubur massal?

"Kami masih mengamati pelanggaran hak asasi manusia yang tak terhitung jumlahnya terhadap migran, pengungsi, dan pencari suaka di Libya,” keluh Liz Throssell, juru bicara Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, kepada DW.

Menurut PBB, kejahatan terhadap kaum migran mencakup penyelundupan manusia, penyiksaan, kerja paksa, pemerasan, kelaparan dalam kondisi penahanan yang buruk, pemindahan massal dan perdagangan manusia. "Semua ini terjadi dalam skala besar dan dengan impunitas penuh, dimana aktor negara dan non-negara sering kali bekerja sama,” tambah Throssel.

Rwanda unscathed in failed UK migration deal

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Türk hari Selasa (16/7) meminta pihak berwenang Libya untuk menyelidiki kuburan massal yang baru-baru ini ditemukan di wilayah perbatasan dengan Tunisia, serta kuburan massal yang berisi setidaknya 65 mayat yang ditemukan di Lembah Al Jahriya Libya pada bulan Maret ini. tahun.

Semakin banyak migran dari negara-negara di selatan Sahara yang ingin mencapai Eropa melalui Libya atau Tunisia. Namun, kedua negara juga bermitra dengan Uni Eropa, demi membendung arus migrasi melintasi Mediterania.

Pada bulan Juli, kantor berita Italia Nova News Agency melaporkan, Libya telah menjadi negara asal migrasi terbesar, meski jumlah kedatangan menurun. Tahun ini, per 5 Juli, sekitar 14.755 migran berhasil mencapai pulau-pulau Italia dari Libya. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlahnya turun 47 persen. Keberangkatan dari Tunisia turun sekitar 70 persen menjadi 10,247 migran.

Lintasan maut tapi tetap diminati

Meski jumlah kedatangan migran dari Libya ke Eropa cenderung berkurang, jumlah pengungsi yang menyesaki negeri pesisir Laut Tengah itu demi menunggu penyebrangan semakin bertambah, lapor organisasi setempat.

Namun angka pastinya sulit diperoleh, lantaran kekacauan politik yang menghinggapi Libya selamahak asasimigrsi satu dekade terakhir.

Saat ini, pemerintahan resmi Libya di bawah Presiden Abdul Hamid Dbeiba hanya menguasai wilayah barat. Sementara wilayah timur yang kaya minyak diduduki milisi bentukan Jenderal Khalifa Haftar.

"Keadaan ini membuat perjalanan melalui Libya menjadi berbahaya, tapi juga menjanjikan,” jelas Tim Eaton dari lembaga pemikir Chatham House di London. Meskipun "berbagai bahaya melakukan perjalanan melalui Libya sudah diketahui,” jumlah migran terus meningkat.

"Tidak adanya hukum dan ketertiban di Libya, serta peluang yang ditawarkan jaringan penyelundup manusia untuk makin sering melakukan penyebrangan bersama pihak berwenang, membuat praktik- ini terus terjadi,” katanya kepada DW.

Eaton tidak memperkirakan situasi di Libya terkait kaum migran akan berubah dalam waktu dekat. Tidak pula dengan solusi politik yang seyogyanya disepakati dalam Forum Migrasi Trans-Mediterania di Libya pada tanggal 17 Juli mendatang.

Lauren Seibert, direktur hak pengungsi dan migran di Human Rights Watch, HRW, meyakini hanya tekanan di tingkat internasional yang dapat membantu.

"Tunisia harus segera menghentikan semua deportasi di wilayah perbatasan di mana nyawa migran terancam,” katanya kepada DW, seraya menambahkan bahwa Uni Eropa harus menghentikan "kucuran uang kepada otoritas yang melakukan deportasi mematikan tersebut.”

David Yambia, aktivis hak asasi manusia di organisasi non-pemerintah Pengungsi di Libya,  percaya bahwa situasi migran di Libya hanya akan membaik jika komunitas internasional mengubah kebijakan mereka.

"Yaitu jika UE berhenti menghubungkan cakupan politik milik milisi bersnjata dan otoritas pemerintah.”

Tanpa hak dan perlindungan

Organisasi migran Mixed Migation Center yang berafiliasi dengan PBB dan Yayasan Friedrich Ebert di Jerman menemukan bahwa Libya menjadi semakin populer sebagai negara lintasan para migran. "Kesempatan kerja yang baik memainkan peranan penting,” tulis para penulis, namun lemahnya hukum juga meningkatkan kerentanan para migran.

Nika William, 24, perempuan asal Ghana, pasti selalu mengingat pengalaman traumatis yang dialaminya. Dia datang ke Libya untuk mencari uang guna menyebrang ke Eropa. "Saya pertama kali jatuh ke tangan geng Libya, diperkosa dan hamil, dan akhirnya dipenjara di penjara Al-Assa,” ujarnya kepada DW di Zuwara.

"Setiap pagi kami harus berbaris dan dicambuk. Saya mengalami keguguran dan saya masih tidak percaya saya bisa selamat,” katanya. Dia akhirnya dibebaskan, tapi ketakutannya tetap ada. "Yang saya inginkan hanyalah masa depan yang aman, tapi saya tidak tahu apakah saya akan pernah mencapainya atau apakah saya akan mati hari ini."

Michael Shira dari Nigeria memiliki tujuan yang sama. "Saya hanya ingin pergi ke Eropa, di mana saya yakin saya akan mempunyai kesempatan hidup yang lebih baik,” katanya. "Tetapi jalan ke sana panjang dan penuh bahaya. Saya tidak tahu apakah saya akan berhasil.”

rzn/as