KTT Segitiga UE ; Dialog baru India-Pakistan; Situasi di Haiti; Diskriminasi ras di Australia
18 Februari 2004Sari Pers DW kali ini menyoroti beberapa topik hangat di hari-hari belakangan ini: KTT segitiga UE di Berlin, kemudian dibukanya kembali dialog antara India dan Pakistan, situasi di Haiti dan kerusuhan di Australia. Hari Rabu ini Kanselir Jerman Gerhard Schröder , dengan Presiden Prancis Jacques Chirac dan PM Inggris Tony Blair , mengadakan KTT segitiga di Berlin. PM Italia Silvio Berlusconi telah melontarkan kritik tajam terhadap KTT setiga tsb. Berlusconi menegaskan, UE tidak perlu dewan pimpinan. Harian Prancis Libération menulis: Ketiga tokoh Schröder, Chirac dan Blair, mungkin tidak merasa dirinya sebagai dewan pimpinan Eropa . Namun sifat pertemuannya membenarkan interpretasi itu. Jelas, poros Jerman-Prancis tidak lagi cukup berbobot, guna mengklaim peranannya di Eropa. Pakta non-agressi tiga negara akan lebih berbobot bagi keseimbangan baru di Eropa. Namun untuk sampai ke situ , dituntut sensibiltas tinggi dari ketiga negara besar .
Harian Inggris The Guardian berkomentar: PM Inggris Tony Blair yang sejak lama menginginkan peran utama bagi negaranya di Eropa, dan ingin memperlemah poros lama Jerman-Prancis, mungkin senang dapat hadir di Berlin. Karena kehadirannya memperkuat kredibilitas dalam fungsinya sebagai jembatan antara UE dan AS pasca perang Irak. Namun hendaknya Blair juga menyadari, Prancis dan Jerman tidak akan melepaskan prinsip persekutuannya. Karenanya, trilateralisme hanya akan bertahan selama sesuai dengan konsep Chirac.
Sementara harian Italia La Stampa berpendapat ketiga negara besar UE dapat memanfaatkan kebesarannya: Jerman, Prancis dan Inggris dalam banyak hal memang punya pandangan yang sangat berbeda, satu-satunya persamaannya adalah ketiganya merupakan negara yang besar. Namun kebesaran ini juga dapat menjadi kekuatan. Sebab, apa bila tiga negara yang masing-masing kepentingannya berbeda dapat bersatu, maka ininsutau kekuatan yang akan memperkokoh persekutuan Eropa.
Mengenai topik ini akhirnya komentar dari harian Rusia Nowyje Iswestija yang terbit di Moskau: Inggris, Prancis dan Jerman membentuk triumvirat. Ketiga negara terkaya di benua Eropa , ibaratnya dapat berenang bebas. Semua negara lain kini dapat memilih , ikut berenang bersama Berlin, Paris dan London. Atau membiarkan diri terbawa arus gelombang.
Dua negara atom yang bermusuhan India dan Pakistan berupaya mencari penyelesaian damai bagi konflik Kashmir. Pada akhir perundingan pendahuluan selama tiga hari di Islamabad, India dan Pakistan menyepakati syarat-syarat kerangka bagi perundingan perdamaian baru dalam waktu dekat. Mengenai dibukanya dialog baru antara India dan Pakistan, harian Swiss Basler Zeitung menulis:
Perundingan itu terlaksana karena tekanan internasional yang kuat. Sebab dunia internasional sudah bosan dengan pertikaian antara India dan Pakistan yang tak kunjung berakhir. Sementara ini kedua negara itu dijauhi di panggung internasional, karena tak seorang pun ingin mendengarkan kata Kashmir lagi. Kini Pakistan terdesak, sebab negara itu tanpa bantuan keuangan dari AS akan bangkrut dan militer sendiri tidak dapat lagi mengawasi kaum ekstremis Islam. Juga India harus banyak belajar. Ketika pada tahun 2002 India nyaris membawa dunia ke jurang konflik nuklir, perusahaan-perusahaan teknologi komputer yang sedang marak membuka mata para politisi di New Delhi, yang bermain dengan tombol nuklir, bahwa ketegangan nuklir dapat mengakibatkan para konsumen AS yang daya belinya kuat , akan menjauhi India.
Konflik lain saat ini, krisis di Haiti. Sudah lebih dari 50 orang tewas di Haiti sejak pemberontakan berkobar pada 5 Februari lalu. Kaum pemberontak menuntut Presiden Jean Bertrand Aristide, yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan dan terlibat korupsi. mundur dari jabatannya. Harian Prancis Quest-France berkomentar: Sekurangnya ada dua negara , selain negara tetangga Republik Dominika, yang punya alasan kuat untuk prihatin dengan situasi di Haiti, yakni AS yang mengkhawatirkan akan didatangi oleh gelombang baru para pengungsi kapal atau Boat People, dan yang tidak akan mengakui pemerintahan yang merebut kekuasaan dengan kekerasan. Dan Prancis, meski hanya karena di Haiti banyak warga yang berbahasa Prancis. Menlu Prancis de Villepin mengusulkan pengiriman pasukan perdamaian internasional, sebab mulai dari sekarang secara de facto bantuan kemanusiaan dan kedokteran tidak mungkin lagi, karena adanya kerusuhan dan langkanya struktur resmi yang dapat dipercaya. Dan akhirnya komentar tentang kerusuhan di Redfern, kawasan di pinggiran kota Sydney , Australia, setelah tewasnya seorang remaja aborigin berusia 17 tahun. Harian Inggris The Independent menulis: Kepekaan dan sikap toleransi terhadap etnik dan ras lain rupanya bukan merupakan tradisi di Australia . Diskriminasi ras terhadap para imigran di Australia masih berlanjut sampai pada tahun 60-an . Bahkan sampai sekarang, mengingat caranya yang tidak manusiawi dalam upayanya untuk mengisolasi dan mengusir para pemohon suaka. Politiknya ini termasuk perlakuan diskriminasi yang paling buruk di negara industri. Sampai belum lama ini perlakuan pemerintah Australia terhadap warga asli, warga aborigin , sangat tercela. Hendaknya kerusuhan di Redfern di tahun 2004 ini , dijadikan awal bagi suatu perobahan.