Menanti Ajal di Rumah
Di Jepang, kebanyakan pasien yang penyakitnya tidak dapat disembuhkan lagi memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit. Tapi tidak sedikit yang lebih suka meninggal di rumah bersama keluarga.
Didamping anjing Rin
Saat Mitsuru Niinuma tahu ia sakit kanker paru-paru dan dalam kondisi kritis, ia memilih untuk menetap di rumah dan tidak meninggal di rumah sakit. Ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan cucu dan anjing kesayangnya Rin. "Perawatan di rumah memungkinan pasien untuk hidup senormal mungkin. Di rumah sakit tidak demikian."
Kamar sendiri
Dinding di kamar tidur Mitsuru dihias dengan puzzle warna warni yang disusun oleh cucunya. Terapis fisik datang secara rutin untuk memijat dan menggerakkan otot-ototnya yang kaku karena hanya terbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan.
Demensia semakin buruk di rumah sakit
Yasudo Toyoko tinggal di rumah putrinya di Tokyo. Perempuan 95 tahun ini menderita kanker perut dan demensia. Ia dirawat oleh anaknya yang yakin kondisi ibunya memburuk karena menetap di rumah sakit. Perawatan di rumah termasuk langka di Jepang. Menurut OECD, 80 persen orang Jepang memilih untuk meninggal di rumah sakit.
Daftar tunggu yang panjang
Tidak semua pasien secara sukarela menunggu ajal di rumah. Setelah didiagnosis leukemia, Katsuo Saito memutuskan untuk meninggal di "hospice", perawatan pasien stadium akhir. Tapi daftar tunggunya sangat panjang, sehingga ia harus menunggu beberapa bulan di rumah. Setelah ditransfer ke hospice, dua hari kemudian ia meninggal.
Tidak cukup tempat tidur
Semakin sulit mendapat tempat di rumah sakit dan "hospice" di Jepang. Sekitar 25 persen warga Jepang berusia di atas 65 tahun. Populasi Jepang termasuk yang paling tua di dunia. Pakar kesehatan memperkirakan tahun 2030 Jepang akan kekurangan setengah juta tempat perawatan di rumah sakit.
Biaya rumah sakit mahal
Yasuhiro Sato menderita kanker paru-paru. Ia sebenarnya ingin tinggal di kamar perawatan rumah sakit. Tapi pensiunan ini tidak mampu membayar dan asuransi kesehatan biasanya menolak menggantikan biaya kamar tunggal di rumah sakit. Jadi Sato tinggal di apartemennya di Tokyo. "Orang kaya, seperti politisi atau artis punya uang. Cuman mereka yang mampu," ujarnya.
Dokter berjalan
Dokter Yuu Yasui (kanan) memiliki klinik berjalan yang menyediakan perawatan bagi pasien kondisi terminal yang menetap di rumah. Sejak didirikan tahun 2013, kliniknya telah merawat lebih dari 500 pasien. "Menurut saya penting punya dokter yang medukung pasien yang memilih untuk menanti ajal di rumahnya sendiri," ujarnya.
Mati dalam kesepian
Beberapa pasien dokter Yasui tinggal bersama keluarga atau ada saudara dan teman yang secara rutin menjenguk. Tapi bagi beberapa pasien, jadwal bertemu dokter dan perawat adalah satu-satunya kontak dengan dunia luar. Yusuhiro Sato tidak punya keluarga dekat di Tokyo. Ia hidup seorang diri di apartemennya.
Tidak ingin menjadi beban
"Tidak apa-apa. Saya tidak ingin menjadi beban orang," ujar Yasuhiro. "Saya ingin meninggal sendiri secara tenang." 13 September lalu ia menghembuskan napas terakhir. Di hari itu hanya dokter dan perawat yang berada di sampingnya. Penulis: Mara Bierbach (vlz/ml)