1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumKorea Selatan

MK Korsel Gelar Pertemuan Pertama Bahas Pemakzulan Yoon

16 Desember 2024

Nasib pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Pengadilan tinggi Korea Selatan itu punya waktu 6 bulan untuk mengeluarkan putusan.

https://p.dw.com/p/4oB2l
Parlemen Korea Selatan
Parlemen Korea Selatan melakukan pemungutan suara pada hari Sabtu (14/12/2024) untuk memakzulkan Presiden YoonFoto: Kyodo/picture alliance

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mengatakan telah menggelar pertemuan pertama terkait kasus pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol pada Senin (16/12/2024). Keenam hakimnya hadir dalam pertemuan tersebut.

Pengadilan tinggi Korea Selatan itu akan memutuskan apakah akan memberhentikan Yoon dari jabatannya atau justru mengembalikannya.

Parlemen Korea Selatan sebelumnya telah melakukan pemungutan suara terkait penyelidikan terhadap Yoon pada Sabtu (14/12/2024). Ia diselidiki atas upayanya memberlakukan darurat militer yang berlangsung singkat pada 3 Desember lalu.

Kekuasaan kepresidenan Yoon pun ditangguhkan sampai putusan Mahkamah Konstitusi keluar. Pengadilan memiliki waktu hingga enam bulan untuk mengambil keputusan. Namun, berkaca pada kasus-kasus sebelumnya di 2016 dan 2004, putusan dapat dikeluarkan lebih cepat.

Jika Yoon diberhentikan, maka pemilihan presiden harus dilakukan dalam waktu 60 hari.

Pengunjuk rasa di Seoul
Para pengunjuk rasa di Seoul menyambut baik langah pemakzulan YoonFoto: Kyodo/picture alliance

Yoon diminta hadir untuk interogasi pada Rabu (18/12/2024)

Sebuah tim investigasi gabungan yang melibatkan polisi, badan anti-korupsi dan Kementerian Pertahanan mengatakan bahwa mereka berencana melayangkan permintaan kepada kantor Yoon agar sang presiden bisa hadir untuk diinterogasi pada Rabu (18/12/2024).

Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mereka memperluas penyelidikan guna mengungkap, apakah upaya Yoon yang gagal menangguhkan kegiatan parlemen masuk kategori pemberontakan atau tidak.

Masih belum jelas apakah Yoon akan mengabulkan atau menolak permintaan interogasi tersebut, mengingat sejauh ini, ia dan kantornya tidak kooperatif dengan para penyelidik dalam beberapa insiden terkait.

Yoon sebelumnya membela dekrit darurat militernya sebagai sebuah tindakan pemerintahan yang diperlukan untuk melawan oposisi utama, Partai Demokrat. Ia menuduh anggota-anggota partai tersebut sebagai "kekuatan anti-negara” yang menghambat agenda kebijakannya. Mengingat kekuatan oposisi di parlemen, Yoon sebelumnya mengalami kesulitan meloloskan anggaran dan legislasi lainnya.

Pengunjuk rasa di Seoul
Para pendukung Yoon juga memberikan dukungan kepadanya selama aksi unjuk rasa pada Sabtu (14/12/2024)Foto: Kyodo/picture alliance

Pada akhir pekan lalu, di saat pemungutan suara terkait pemakzulan Yoon berlangsung di Majelis Nasional, ratusan ribu orang, baik pendukung maupun penentang Yoon, turun ke jalan-jalan di Seoul.

Pemimpin oposisi desak MK segera ambil keputusan

Pemimpin Partai Demokrat, Lee Jae-myung, mendesak Mahkamah Konstitusi untuk segera mengambil keputusan terkait pemakzulan Yoon, dan meminta pengadilan tinggi itu untuk merekomendasikan sebuah dewan khusus terkait kerja sama pemerintah dan parlemen.

Namun, partai konservatif Yoon, Partai Kekuatan Rakyat (PPP), mengkritik permintaan ini dengan menyebutnya sebagai upaya perebutan kekuasaan yang tidak pantas dari pihak oposisi.

Lee dari Partai Demokrat sebelumnya kalah dalam pemilihan presiden pada bulan Maret 2022 dengan selisih kurang dari 1 poin persentase suara.

Tanda keretakan di tubuh PPP

Upaya Yoon memobilisasi militer pada 3 Desember lalu membuat PPP terpecah. Beberapa anggota mendukung langkah tersebut sementara lainnya menentang.

Hal ini semakin terlihat pada Senin (16/1/2024), ketika pemimpin PPP, Han Dong-hun, mengumumkan pengunduran dirinya di Seoul.

Han telah secara terbuka mendukung upaya pemakzulan Yoon, meskipun dihujani kritik dari beberapa sekutu partai. Meski begitu, ia mengaku tidak menyesal.

"Jika darurat militer tidak dicabut pada malam itu, insiden berdarah bisa saja terjadi pada pagi hari antara warga yang turun ke jalan dan tentara,” kata Han dalam sebuah konferensi pers.

Apa yang sebenarnya terjadi pada 3 Desember?

Dalam sebuah pidato mendadak yang disiarkan melalui televisi sebelum tengah malam, Yoon menjadi presiden Korea Selatan pertama dalam lebih dari empat dekade yang mengumumkan darurat militer. Tentara kemudian diterjunkan untuk mencoba membubarkan parlemen.

Namun, dalam beberapa jam, anggota parlemen dengan suara bulat memilih mencabut darurat militer tersebut, meskipun saat itu hanya 60% anggota yang hadir.

Tentara dan polisi kemudian mundur setelah keputusan parlemen tersebut. Tidak ada kekerasan besar yang terjadi.

Sekutu-sekutu asing Korea Selatan, seperti Amerika Serikat, menyatakan kelegaan dan juga keterkejutan setelahnya, dan memuji ketangguhan lembaga-lembaga demokratis di Seoul.

gtp/hp (AFP, AP, Reuters)