1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Nobel Perdamaian: Korban Bom Atom Jepang Ungkap Kengerian

11 Desember 2024

Seorang pria Jepang berusia 92 tahun yang selamat dari bom atom di Nagasaki menggambarkan penderitaan yang disaksikannya pada tahun 1945, saat menerima Penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini atas nama organisasinya.

https://p.dw.com/p/4nzih
Korban selamat dari bom atom Jepang, Terumi Tanaka
Korban bom atom Jepang mengenang kengerian yang dialaminya dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel PerdamaianFoto: ODD ANDERSEN/AFP

 

Penghargaan Nobel Perdamaian dihibahkan kepada Nihon Hidankyo, sebuah gerakan akar rumput dari para penyintas bom atom Jepang yang telah bekerja selama hampir 70 tahun ”menjaga tabu” atau melawan penggunaan senjata nuklir.

Senjata nuklir ”tumbuh” secara eksponensial dalam segi kekuatan dan jumlah sejak digunakan untuk pertama dan satu-satunya kalinya dalam peperangan oleh Amerika Serikat di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun 1945.

Pengeboman tersebut mendorong Jepang untuk menyerah kepada tentara sekutu. Senjata nuklir itu menewaskan sekitar 210.000 orang pada akhir tahun 1945, tetapi jumlah korban tewas akibat radiasi tentu lebih tinggi.

Saat para penyintas mencapai usia senja kehidupan mereka, mereka bergulat dengan ketakutan bahwa tabu terhadap penggunaan senjata tersebut tampaknya melemah.

Hal ini diutarakan oleh penyintas berusia 92 tahun, Terumi Tanaka, yang menyampaikan ceramah dalam penerimaan  Nobel Perdamaian di Balai Kota Oslo. Upacara bergengsi ini juga dihadiri anggota Kerajaan Norwegia.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Ancaman senjata nuklir di masa kini

Negara adikuasa nuklir Rusia mengancam akan menggunakan senjata nuklir dalam perangnya melawan Ukraina, dan seorang anggota kabinet Israel, di tengah serangannya yang tak henti-hentinya terhadap Gaza di Palestina, bahkan berbicara tentang kemungkinan penggunaan senjata nuklir,” kata Tanaka. "Saya sangat sedih dan marah karena tabu nuklir terancam dipatahkan.”

Kekhawatiran itu mendorong Komite Nobel Norwegia untuk memberikan hadiah  Nobel tahun ini kepada organisasi Jepang tersebut, meskipun sebelumnya telah memberikan penghargaan kepada nonproliferasi nuklir lainnya.

Ketua Komite Nobel,  Jørgen Watne Frydnes, mengatakan penting untuk belajar dari kesaksian mereka seiring meningkatnya bahaya nuklir. "Tidak satu pun dari sembilan negara yang memiliki senjata nuklir — Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis, Inggris, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara — yang tampak tertarik pada pelucutan senjata nuklir dan pengendalian senjata saat ini,” katanya. "Sebaliknya, mereka memodernisasi dan membangun persenjataan nuklir mereka.”

Ia menambahkan Komite Nobel Norwegia menyerukan kepada lima negara pemilik senjata nuklir yang telah menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir — AS, Rusia, Cina, Prancis, dan Inggris — untuk menganggap serius kewajiban mereka berdasarkan perjanjian tersebut, dan mengatakan negara lain harus meratifikasinya.

"Adalah naif untuk percaya bahwa peradaban kita dapat bertahan hidup dalam tatanan dunia di mana keamanan global bergantung pada senjata nuklir,” kata Frydnes. "Dunia tidak dimaksudkan untuk menjadi penjara tempat kita menunggu pemusnahan secara kolektif.”

Kengerian traumatis

Dalam pidatonya, Tanaka menggambarkan serangan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945, tiga hari setelah bom pertama dijatuhkan di Hiroshima.

Ia mengingat suara dengungan jet pembom yang diikuti oleh "cahaya putih terang,” dan kemudian gelombang kejut yang hebat. Tiga hari kemudian, ia dan ibunya mencari orang-orang terkasih yang tinggal di dekat hiposentrum.

"Banyak orang yang terluka parah atau terbakar, tetapi masih hidup, ditinggalkan tanpa perhatian, tanpa bantuan apa pun. "Saya hampir tidak memiliki emosi, entah bagaimana menutup rasa kemanusiaan saya, dan hanya fokus menuju tujuan saya," katanya.

Ia menemukan tubuh seorang bibinya yang hangus terbakar bersama cucunya, kakeknya yang hampir meninggal karena luka bakar parah, dan seorang bibi lainnya yang mengalami luka bakar parah dan meninggal sebelum ia tiba. Secara keseluruhan, lima anggota keluarga tewas.

Ia menggambarkan upaya para penyintas untuk menggunakan pengalaman mereka guna mencoba menghapuskan senjata nuklir demi kemanusiaan, dan untuk mencoba menerima kompensasi dari negara Jepang, yang memulai perang, atas penderitaan mereka.

"Saya berharap bahwa keyakinan bahwa senjata nuklir tidak dapat dan tidak boleh — hidup berdampingan dengan kemanusiaan -- akan mengakar kuat di kalangan warga negara pemilik senjata nuklir dan sekutunya, dan bahwa ini akan menjadi kekuatan untuk perubahan dalam kebijakan nuklir pemerintah mereka,” pungkasnya.

ap/hp (AP)