1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiPakistan

Pakistan Minta Tambahan Utang IMF demi Selamatkan Ekonomi

26 Maret 2024

Pemerintahan Shehbaz Sharif harus meminta utang tambahan dari Dana Moneter Internasional untuk menyelamatkan ekonomi Pakistan. Namun privatisasi perusahaan negara dinilai bermasalah karena diboncengi militer.

https://p.dw.com/p/4e8Cv
Logo Bank Sentral Pakistan, SBP
Logo Bank Sentral Pakistan, SBPFoto: Akhtar Soomro/REUTERS

Pakistan telah lama berada dalam kondisi darurat. Ketidakstabilan politik, korupsi, pandemi COVID-19, krisis energi global dan bencana alam akibat perubahan iklim telah berdampak buruk terhadap perekonomian.

Pemerintahan Perdana Menteri Shehbaz Sharif kini harus meminta dana talangan lain dari Dana Moneter Internasional, IMF, untuk mengatasi krisis neraca pembayaran yang akut.

"Kami tidak bisa bertahan tanpa program baru IMF,” kata Sharif di ibu kota Islamabad, dalam sebuah pidato yang disiarkan langsung pekan lalu.

Pernyataannya itu dibuat sehari setelah IMF menyepakati perjanjian sementara, atau kesepakatan di tingkat staf, yang jika disetujui oleh dewan direksi IMF, akan mengucurkan sisa pinjaman senilai  USD 1,1 miliar dari dana siaga sebesar USD 3 miliar yang dijamin hingga maksimal  11 April.

Kreditor yang berbasis di AS itu sudah menyatakan, bakal merumuskan program penghematan jangka menengah jika pemerintah di Islamabad mengajukan permohonan utang.

Sejauh ini, Pakistan belum secara resmi menyampaikan jumlah utang yang ingin diusahakan dalam skema jangka panjang.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Bagaimana revitalisasi ekonomi?

Sebagian populasi Pakistan yang berjumlah 240 juta orang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Terutama masyarakat miskin menjadi kelompok yang paling telak terdampak.

Akibat lonjakan inflasi, yang berkisar 30 persen, banyak warga Pakistan mengalami penurunan tajam upah riil dan daya beli. Krisis diperparah oleh cadangan mata uang asing yang semakin menipis dan saat ini berkisar USD 8 miliar, hanya cukup untuk membiayai impor selama delapan minggu.

Pakistan's economic crisis impacts Ramadan celebrations

Di tengah gejolak ekonomi, pemilihan umum pada bulan Februari lalu malah menghasilkan pemerintahan yang goyah dengan tugas membenahi masalah struktural di Pakistan dan mengeluarkan nrgara dengan kinerja perekonomian sebesar USD 350 miliar itu dari jurang krisis.

"Jika pemerintah mendapat pinjaman jangka panjang dari IMF dan mematuhi ketentuan kesepakatan, maka perekonomian dapat bangkit kembali,” kata Mohammed Sohail, CEO Topline Securities, sebuah perusahaan pialang yang berbasis di Karachi kepada DW.

Privatisasi syarat penghematan

Namun, program-program IMF biasanya menuntut penghematan anggaran dan reformasi struktural, yang dijamin tidak populer.

Dalam kasus Pakistan, pemerintah harus mencabut subsidi gas dan listrik, menambah penerimaan pajak dan menjual perusahaan negara yang terus-terusan merugi. Salah satunya adalah maskapai penerbangan nasional Pakistan International Airline, PIA, yang dianggap berkinerja buruk.

"Privatisasi jelas diperlukan dan menurut saya sudah lama tertunda,” kata Safiya Aftab, ekonom Pakistan dalam percakapan dengan DW. "Apa yang sering luput dari retorika mengenai privatisasi, berupa hilangnya lapangan kerja dan lain-lain adalah, bahwa kita semua, termasuk masyarakat miskin, kenyataannya ikut membiayai perusahaan-perusahaan negara yang tidak bekerja maksimal dan mengalami kerugian.”

"Kita membiayai mereka karena pemerintah menutupi kerugian perusahaan-perusahaan ini melalui alokasi anggaran dan dengan berutang,” tambah Aftab,.

"Privatisasi maskapai penerbangan dan perusahaan lain yang merugi akan menguntungkan Pakistan karena mengurangi kerugian pemerintah,” timpal Sohail mengamini. "Kami melihat situasi serupa terjadi di sektor perbankan pada akhir dasawarsa 1990an. Setelah diswastakan, bank mulai kembali membayarkan keuntungan kepada pemerintah.”

Ribuan Pengungsi Afganistan Terpaksa Meninggalkan Pakistan

Ekonomi di jalur oligopoli militer?

Tapi di sisi lain, cara pemerintah mendorong privatisasi aset negara juga dinilai bermasalah. "Karena, meskipun tuntutan IMF untuk privatisasi masuk akal, apa yang terjadi di Pakistan mungkin tidak sesuai dengan harapan lembaga keuangan global,” kata Osama Malik, pakar hukum Pakistan, mengacu pada pembentukan badan koordinasi investasi tahun lalu. Dewan Fasilitasi, SIFC, yang menurut pemerintah akan mempercepat dan mempermudah investasi.

Malik menuduh SIFC secara de facto berada di bawah kendali militer. Buktinya adalah masuknya panglima militer Pakistan ke dalam jajaran direksi. "Baru-baru ini, fasilitas rekreasi dan pariwisata milik pemerintah federal dialihkan kepada perusahaan baru yang dimiliki oleh militer. "Privatisasi semacam ini dikhawatirkan bakal menciptakan oligopoli militer di negara, di mana angkatan bersenjata memiliki saham yang sangat besar di berbagai perusahaan,” imbuhnya.

Jika salah langkah, reformasi ekonomi dapat menambah penderitaan bagi masyarakat dalam jangka pendek, kata sejumlah ekonom. "Pembatasan impor akan berdampak pada sektor manufaktur, khususnya, sementara pemotongan dana publik berarti berkurangnya aktivitas perekonomian di dalam negeri,” tambah Aftab.

Dia memperkirakan, pemulihan ekonomi akan berjalan lambat dan memerlukan waktu beberapa tahun sebelum pertumbuhan bisa kembali pulih. "Program IMF tidak akan membawa kemajuan signifikan dalam jangka pendek. Namun program ini akan menurunkan defisit transaksi berjalan dan fiskal, yang seharusnya membantu menstabilkan inflasi,” ujarnya.

"Program IMF sebenarnya bukan dibuat untuk mengembalikan pertumbuhan, namun untuk mencapai stabilitas ekonomi.”

rzn/as

Haroon Janjua
Haroon Janjua Jurnalis yang tinggal di Islamabad, berfokus pada politik dan masyarakat PakistanJanjuaHaroon