Paradoks Tradisi Berburu Paus di Jepang
Jepang kembali mengizinkan perburuan paus komersil pada 2019. Padahal bisnis daging paus yang terus melesu memaksa pemerintah menggelontorkan subsidi. Kenapa Tokyo bersikeras merawat tradisi yang kian tidak populer itu?
Langkah Mundur
Jepang mengundurkan diri dari Komisi Perpausan Internasional (IWC) agar bisa mengizinkan kembali perburuan paus secara komersial mulai Juli 2019. Langkah Tokyo itu mengundang sumpah serapah masyarakat internasional. Jepang berdalih, populasi beberapa jenis paus sudah pulih sehingga mengizinkan dilanjutkannya penangkapannya.
Industri yang Sekarat
Tapi fakta lain menggambarkan situasi yang berbeda. Pada dekade 1960an konsumsi daging paus di Jepang mencapai 200.000 ton per tahun, tapi kini hanya mencapai 5.000 ton. Menurut studi yang dirilis lembaga konservasi IFAW pada 2012 silam, 89% warga Jepang mengaku tidak lagi membeli daging paus dalam 12 bulan terakhir dan hanya 27% penduduk yang mendukung praktik perburuan paus.
Konsumsi Menyusut Tajam
Menurut IFAW, industri paus Jepang setiap tahun menyimpan hampir 5.000 ton daging yang tidak terjual. Beberapa tahun silam asosiasi industri sempat menggelar serangkaian lelang daging paus untuk merangsang daya beli masyarakat. Namun upaya tersebut berakhir setelah dalam satu tahun 75% stok daging tidak laku dijual.
Hidup dari Subsidi
Akibatnya pemerintah harus menggelontorkan subdisi dan memberikan jamiman pinjaman untuk menghidupkan industri yang tak lagi menguntungkan tersebut. Antara 1980an hingga awal 2010an saja pemerintah di Tokyo sudah mengucurkan dana subsidi hingga US$ 400 juta. Tidak heran jika 85% penduduk menentang kucuran dana pajak untuk membantu industri membangun armada lautnya.
Petak Umpet di Samudera Lepas
Jepang sebenarnya sudah mengakhiri praktik perburuan paus komersil sekitar 30 tahun silam, sesuai dengan moratorium yang diberlakukan oleh IWC. Tokyo dinilai hanya menyetujui moratorium tersebut lantaran menemukan celah hukum yang memungkinkan perburuan paus untuk tujuan ilmiah. Tidak sedikit yang mengritik Jepang memanfaatkan celah tersebut untuk melanjutkan praktik komersil perburuan paus.
Tradisi yang Dipaksakan?
Pemerintah Jepang berdalih langkah tersebut diambil untuk merawat tradisi yang telah berusia lama. Tradisi tersebut antara lain dipaksakan dalam bentuk kewajiban menyajikan menu ikan paus di sekolah-sekolah setidaknya sekali dalam sepekan, antara lain juga untuk mengurangi jumlah cadangan daging paus yang menumpuk.
Sejarah Muram Perburuan Paus
Meski telah berakar lama di kawasan pesisir timur, tradisi berburu paus baru menjelma menjadi industri di akhir Perang Dunia II, ketika bencana kelaparan mulai merajalela. Antara akhir 1940an hingga pertengahan 1960an, daging paus merupakan satu-satunya jenis makanan berprotein tinggi yang terjangkau kocek pembeli. Pada 1964 misalnya, Jepang membunuh lebih dari 24.000 ekor paus dalam setahun
"Pikiran Pendek" Penguasa Tokyo
Ketika kaum muda semakin jarang mengkonsumsi daging paus, kaum tua tetap merawat tradisi tersebut atas dasar "melankolis", lapor CNN. Koran Asahi Shimbun menilai Jepang "berpikiran pendek" ketika mengizinkan kembali perburuan paus komersil. Kepada BBC, aktivis Greenpeace Junko Sakuma mengakui "tidak ada keuntungan dari berburu paus. Tapi tidak ada yang tahu bagaimana harus menghentikannya."