Pemilu di Afghanistan Dirongrong Taliban
18 Agustus 2009Situasi di Afghanistan menjelang digelarnya pemilu presiden menjadi tema komentar dalam tajuk harian internasional.
Harian Belanda De Volkskrant yang terbit di Amsterdam dalam tajuknya berkomentar : Terutama kawasan pedesaan di Kandahar dan provinsi lainnya di selatan Afghanistan yang menentukan apakah pemilu ini sukses atau gagal. Di berbagai distrik di kawasan itu, pemerintah hanya memiliki kekuasaan di sekitar gedung-gedung pemerintahan belaka. Dan juga kemungkinan hanya dapat mengendalikan keamanan tempat pemungutan suara di gedung-gedung bersangkutan. Tapi jaminan apa yang dapat diberikan kepada para petani di pedesaan, yang tahu persis bahwa tambahan pasukan Afghanistan di kawasan itu akan ditarik kembali pada pekan-pekan mendatang.
Harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma berkomentar : Sebuah pemungutan suara akan digelar di bawah ancaman kelompok ekstrimis Taliban dan dalam cekaman ketakutan. Walaupun muncul keraguan akan keseriusan pasukan ISAF, namun AS tetap tidak akan mengubah kepeduliannya di Afghanistan, seperti telah ditegaskan oleh presiden Barack Obama. Barat mendukung sepenuhnya warga Afghanistan, dan mengharapkan agar negara itu mengalami reformasi. Washington juga mengharapkan, agar keberadaan pasukan asing tidak harus diperpanjang hingga 30 sampai 40 tahun lagi. Tapi di Afghanistan tidak akan terjadi reformasi dengan mudah.
Harian Jerman Frankfurter Rundschau yang terbit di Frankfurt am Main berkomentar : Taliban terus melancarkan serangan dan ancaman sebagai upaya untuk mencegah warga memberikan suaranya. Situasi keamanan di banyak bagian Afghanistan amat buruk, sehingga diragukan apakah hasil pemilu juga mencerminkan kehendak rakyat. Sementara juga semakin kencang dilontarkan tuduhan, terus dilakukannya kecurangan selama terbuka kesempatan. Duel antara Abdullah yang warga Tajik dengan Karzai yang warga Pashtun, juga akan mempertajam polarisasi dan membuat jurang antar etnis semakin lebar. Ketakutan bukannya tidak beralasan, karena kekecewaan akibat harapan yang tidak terpenuhi kini dilepaskan dalam bentuk aksi kekerasan. Pada akhirnya, yang menentukan bukannya apakah para pengamat pemilu dari seluruh dunia yang datang ke Afghanistan mengakui hasil pemilu ini. Melainkan, apakah mereka yang kalah juga mengakui hasil pemilu.
Terakhir harian Perancis La Republique du Centre yang terbit di Orleans berkomentar : Di saat 17 juta pemilih menentukan presiden baru dan dewan provinsi, Afghanistan terus terpuruk ke dalam kekacauan, menimbang meningkatnya serangan dan ancaman kelompok Taliban. Rakyat Afghanistan tidak percaya lagi akan visi pembebasan oleh pasukan asing. Perang yang adil melawan Al Qaida seperti program presiden AS Barack Obama, bentuknya dapat berubah menjadi seperti perang Vietnam baru. Obama juga telah memperingatkan, kemenangan tidak akan dapat diraih dalam waktu cepat secara mudah. Diantara senapan para serdadu pasukan internasional dan bom kelompok Taliban, bagaimanapun juga demokrasi dari proses pemilu hanya memiliki peluang amat kecil.
AS/AP/dpa/afpd