1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Pengolahan Sampah Berikan Pekerjaan ke Pemulung Lansia

27 Agustus 2024

Setelah 40 tahun memulung, Sakinah bersama 13 pengupas botol lansia tetap ingin bekerja di tengah keterbatasan usia yang tak lagi muda.

https://p.dw.com/p/4jnRQ
Di usia yang tidak lagi muda, Sakinah tetap semangat bekerja
Di usia yang tidak lagi muda, Sakinah tetap semangat bekerjaFoto: Fika Ramadhani/DW

Setiap hari, ratusan botol plastik disortir dan ‘dikupas' di hub pengolahan sampah plastik yang terletak di Bekasi, Jawa Barat. Botol-botol plastik ini harus ‘dikupas' dengan cara membuang label dan tutup botolnya, sebelum akhirnya diolah jadi komoditas cacahan plastik yang bisa mendulang untung hingga ratusan juta rupiah per bulan.

Sakinah yang telah menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya menjadi pemulung, akhirnya bergabung dengan tempat pengolahan sampah KitaOlah.id pada 2021. Bersama 13 pengupas botol sebaya dengannya, mereka ingin tetap bekerja di tengah keterbatasan usia yang tak lagi muda.

"Dulu masih kuat, mau mulung dari pagi sampai malam juga enggak masalah, tapi sekarang stamina sudah enggak kayak dulu. ‘Kan tetap butuh makan."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Rumahnya yang tak jauh dari KitaOlah.id, membuat Sakinah tak perlu berjalan jauh untuk berangkat kerja. Hal serupa juga dirasakan para perempuan lain yang bekerja sebagai pengupas botol untuk kemudian didaur ulang.

Selain dekat dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Lokasi KitaOlah juga tak jauh dari permukiman warga yang mayoritas bekerja sebagai pemulung.

Pemulung lansia bisa tetap bekerja

Memang pendapatannya tak sebesar jika dibanding dengan hasil mengumpulkan sampah di TPA. Sakinah berkisah, saat jadi pemulung ia bisa mengumpulkan 90-100 ribu rupiah perhari, "Kalau di sini dibayar sehari Rp60 ribu, kerjanya dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore." 

Memisahkan sampah botol plastik dari labelnya
Saya awalnya bahkan enggak kasih patokan berapa kilo (sampah) yang harus dikupas, tapi mereka ini cekatan sekali," tutur pendiri KitaOlah.id Muhammad Andriansyah.Foto: Fika Ramadhani/DW

"Memang awalnya saya yang datang ke sini, saya nyamperin Pak Andri, tanya apakah bisa saya kerja di sini?" tutur Sakinah. Dari mulanya hanya ia dan 3 orang teman sesama mantan pemulung, hingga akhirnya kini jumlahnya semakin banyak.

Sembari bekerja sebagai pengupas botol, Sakinah dan pekerja lain juga kerap mendapat edukasi tentang pemilahan sampah, "Kadang kami juga diajarin gimana memilah sampah, kalau ada sampah dikumpul, jangan dicampur. Kalau sudah banyak bisa ditukar." 

Meski secara penghasilan terbilang lebih sedikit, Sakinah mengaku bersyukur dan sangat menikmati rutinitasnya di KitaOlah.id. "Kalau dulu memang duitnya agak lebih besar, tapi risikonya juga besar. Setiap hari ada target harus mengumpulkan sampah berapa banyak, kami harus panggul sendiri untuk dibawa ke pengepul."

Ia juga menambahkan, "belum lagi risiko kaki ketusuk beling, kawat, dan benda-benda tajam lainnya. Kalau di sini kan lebih aman."

Sakinah mengaku, di sini pekerjaannya tak terlalu ngoyo. "Suka diingetin, kalau capek ya istirahat jangan dipaksain. Tiap jam 12 siang dapat istirahat satu jam, kalau masih jadi pemulung boro-boro ada istirahat," tambahnya.

Ibu-ibu pekerja di pengolahan sampah plastik KitaOlah
Saat jadi pemulung Sakinah bisa mengumpulkan 90-100 ribu rupiah perhari, "Kalau di sini dibayar sehari Rp60 ribu, kerjanya dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore," ujarnya.Foto: Fika Ramadhani/DW

Semangat bekerja di usia senja

Tak dipungkiri, kondisi membuatnya harus tetap banting tulang untuk mememuhi kebutuhan hidup. Kesempatan yang ia dapat di KitaOlah.id menjadi salah satu harapan untuk tetap bisa bekerja dengan keterbatasan di usia senja.

"Selain tambahan penghasilan, kadang bingung juga enggak ngapa-ngapain. Cuma nunggu kiriman dari anak. Anak-anak sudah pada gede tinggal di luar kota, sepi sendirian," ujar Sakinah.

Psikolog klinis, Novaridha menjelaskan, kebutuhan lansia untuk tetap bekerja biasanya juga dilatarbelakangi dengan faktor psikis. "Beliau-beliau yang mudanya aktif sekali, jangan sampai ketika sudah tua langsung tidak ada kegiatan sama sekali. Kasian nanti tubuh dan pikirannya kaget," jelasnya. 

"Yang jelas juga jangan sampai overwork, harus ada perhatian dari lingkungan sekitar, karena kadang mereka enggak sadar bahwa stamina dan kondisinya sudah tidak seprima dulu."

Indonesia memasuki era populasi yang kian menua. Saat ini,  satu dari 10 orang di Indonesia berusia di atas 60 tahun. Survei Angkatan Kerja Nasional 2023 menunjukkan, lebih dari 53% lansia di Indonesia masih bekerja.

Nova mengatakan, "kalau situasi mengharuskan mereka tetap bekerja, ya peran orang yang muda-muda (yang bekerja di tempat tersebut) ini juga harus peduli. Jam kerja tidak boleh lebih dari tujuh jam, dan jangan lupa tempat kerja yang ramah lansia."

Pengolahan sampah berbasis lingkungan

Dari 38 pekerja yang ada di hub pengolahan ini, lebih dari 30% pekerjanya adalah perempuan lansia. Mereka dengan latar belakang pemulung yang terbiasa memilah dan mengelompokkan sampah plastik untuk diolah berdasarkan jenisnya. 

Tak semata mendulang untung, KitaOlah.id memiliki konsep social enterprise dengan pengelolaan bisnis yang juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Seperti yang disampaikan pendiri KitaOlah.id Muhammad Andriansyah, "salah satunya kami memberdayakan ibu-ibu lansia yang sudah tua. Karena mereka ingin tetap punya penghasilan." 

Tempat mengolahan sampah plastik KitaOlah
Pengolahan sampah KitaOlah di Bekasi ini mempekerjakan para pemulung lanjut usia yang tinggal di sekitar.Foto: Fika Ramadhani/DW

Tak ada target khusus yang diberikan Andri untuk para pekerjanya. Andri menyadari, usia yang tak lagi muda mungkin akan berpengaruh pada kinerja mereka. Namun secara mengejutkan, hasil pekerjaan mereka justu di luar ekspektasi.

"Biarpun sudah tua mereka masih sangat semangat. Saya awalnya bahkan enggak kasih patokan berapa kilo (sampah) yang harus dikupas, tapi mereka ini cekatan sekali," tutur Andri. "Bahkan saya menilai, kalau ibu-ibu ini hasilnya lebih rapi. Jadi selain semangat, mereka juga teliti," imbuhnya.

(fr/ae)

Fika Ramadhani Fika Ramadhani, jurnalis multi-media untuk Deutsche Welle Program Indonesia.