1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengungsi Afrika Masih Serbu Eropa

6 Oktober 2005

Sorotan surat kabar di Eropa terarah ke Melilla, kawasan enklave Spanyol di Afrika Utara dan ke Irak.

https://p.dw.com/p/CPMf
Perbatasan antara Spanyol dan Maroko
Perbatasan antara Spanyol dan MarokoFoto: AP

Situasi dramatis di Melilla, yang terletak di perbatasan bagian selatan Spanyol dan Eropa, terus berlanjut. Rabu dini hari kembali terjadi serbuan pengungsi yang mencoba melewati pagar kawat yang membatasi Spanyol dan Marokko. Ini merupakan serbuan pengungsi warga Afrika yang kedua kalinya dalam pekan ini. Sebelumnya, hari Senin dini hari lalu sekitar 700 warga Afrika mencoba mengadu nasib dengan memanjat tembok pembatas. Sebagian dari mereka berhasil melewati tembok Eropa tersebut. Sementara itu Spanyol menyetujui permintaan Marokko bagi rencana seperti ‘Marshall Plan’, yaitu untuk pengembangan ekonomi Afrika dan negara-negara Afrika Utara. Sasarannya adalah mencegah serbuan pengungsi dari kawasan tersebut ke Eropa, yang diduga akan semakin gencar di tahun-tahun mendatang.

Harian Jerman Neue Osnabrücker Zeitung mengomentari arus pengungsi ke daratan Eropa sebagai berikut:

"Sejak dua tahun Komisi Uni Eropa mengadakan perundingan dengan Marokko tentang perjanjian penerimaan kembali imigran yang tidak terdaftar resmi. Juga jika hal ini hampir mencapai kesepakatan, masalahnya sama sekali tidak terpecahkan. Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa Bangsa sekarang harus mengembangkan konsep yang mendasar dan berorientasi ke masa depan, yang menjamin kehidupan layak para pengungsi di negara asalnya. Sudah lama pembela hak asasi manusia dan tokoh politik pengembangan mendesak program seperti Marshall Plan untuk Afrika. Program yang harus dilakukan bukanlah pemasangan pagar kawat dan pembangunan tembok pembatas, melainkan pengadaan dana untuk menangani secara manusiawi para pengungsi yang mendarat di Eropa."

Di Irak, parlemen negara yang akan melaksanakan referendum konstitusi tanggal 15 Oktober mendatang, membatalkan perubahan undang-undang dan membuka diri untuk partai minoritas Sunni. Sementara di Melilla, untuk kedua kalinya dalam pekan ini pengungsi Afrika mencoba melewati perbatasan untuk mengadu nasib di Eropa. Dalam artikel yang berjudul 'Parlemen Irak menyambut kaum Sunni' harian Jerman Süddeutsche Zeitung berkomentar:

"Setelah mendapat kritik internasional, parlemen Irak membatalkan rencana perubahan hak pemilihan umum dan membuka diri untuk minoritas partai Sunni. Dengan demikian peraturan pemilihan suara sebelumnya tetap berlaku yaitu: konstitusi tidak akan berlaku jika di tiga dari 18 provinsi, masing-masing duapertiga pemilih memberikan suara menolak. Kaum Sunni merupakan mayoritas penduduk di empat provinsi. Usulan perubahan undang-undang yang diajukan pemerintah adalah dua pertiga mayoritas suara berasal dari seluruh pemilih yang terdaftar, tidak hanya terbatas mereka, yang benar-benar terlibat dalam referendum tanggal 15 Oktober mendatang."

Sementara menjelang referendum konstitusi dan pembatalan perubahan hak pemilu Irak harian Daily Telegraph yang terbit di London menulis:

Untung saja Parlemen Irak menarik kembali keputusan mengubah hak pemilu hari Minggu lalu. Dapat dimengerti bahwa semua yang menderita di bawah kekerasan rejim totaliter Saddam Hussein ingin membatasi kekuasaan kaum Sunni. Tapi jika Irak pasca perang ingin tetap bertahan sebagai satu negara, ia harus menjamin hak suara warga minoritasnya. Sehingga mungkin saja, referendum undang-undang pekan depan mengalami kegagalan. Itulah harga sebuah demokrasi.“

Harian lliberal Finlandia Hufvudstadsbladet berkomentar:

Dalam satu pekan Irak akan memutuskan konstitusi negara tersebut. Penarikan keputusan parlemen Irak dalam masalah kelompok Sunni harus disambut gembira. Mungkin sekarang konstitusi tidak akan terbentuk. Hal yang cukup buruk, khususnya menjelang proses pengadilan terhadap Saddam Hussein. Tapi masih akan lebih buruk lagi jika kelompok Sunni, yang terakhir memboikot pemilihan parlemen, sama sekali tertutup dari proses demokrasi. Risiko dengan mengubah aturan main dalam permainan yang tengah berlangsung oleh kelompok mayoritas, akan berdampak sangat besar. Tekanan internasional kali ini juga berperan mengembalikan langkah Irak ke jalur yang benar.“