1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJerman

Rasisme Tingkatkan Risiko Kemiskinan Kaum Migran di Jerman

8 Mei 2024

Warga berkulit hitam, beragama Islam atau berdarah Asia menjadi kelompok yang paling rentan mengalami kemiskinan di Jerman, menurut sebuah riset. Repotnya, pendidikan tinggi tidak menjamin akses yang lebih baik.

https://p.dw.com/p/4fcLx
Demonstrasi anti-rasisme di Jerman
Demonstrasi anti-rasisme di Köln, Jerman, 16/1Foto: Marc John/IMAGO

Rasisme masih kental di Jerman. Tapi bagaimana dampaknya terhadap korban? Pertanyaan ini coba dijawab dalam sebuah riset oleh Pusat Studi Integrasi dan Migrasi Jerman, DeZIM, di Berlin.

Riset yang dipimpin oleh perempuan muslim, Prof. Dr. Zerrin Salikutluk, ini ingin mengungkap apakah ada kaitan antara rasisme dan kemiskinan. Jawabannya adalah: Ya. 

Dasar analisis yang digunakan adalah data Pantau Rasisme dan Diskriminasi Nasional, NaDiRa, yang juga ikut dikelola Salikutluk. 

"Jika Anda melihat statistik resmi atau laporan kemiskinan dan kekayaan dari pemerintah federal, di sana hanya dijabarkan latar belakang etnis atau status kewarganegaraan,” kata dia. „Yang tidak kita ketahui sejauh ini adalah bagaimana rasisme berimbas pada kehidupan korban.”

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Diskriminasi sejak dini

Kepada DW, para peneliti mengaku ikut mempertimbangkan data lintas sektoral, yakni dari sistem pendidikan, pasar ketenagakerjaan, pasar properti dan sektor kesehatan. 

Hasilnya, praktik diskriminasi tercatat sudah muncul sejak proses mencari pekerjaan. Bagi korban, terbatasnya akses ekonomi akhirnya memperbesar risiko jatuh ke bawah garis kesmikinan.

Kemiskinan di Jerman digolongkan kepada mereka yang menghasilan pendapatan tahunan kurang dari 60 persen dari rata-rata upah nasional. Pada tahun 2023 jumlahnya 1.310 Euro per bulan. 

Menurut statistik, hanya lima persen warga kulit putih Jerman yang tergolong miskin. Pada kelompok masyarakat berkulit hitam, beragama Islam atau berasal dari Asia, porsinya mencapai 20 persen.

What’s it like to launch a start-up as an immigrant in Germany?

Berpendidikan, tapi miskin

Ironisnya, tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin kondisi keuangan yang baik. Ancaman kemiskinan ikut menimpa tenaga kerja terampil hingga yang berpendidikan doktor. 

Pada saat survei dilakukan, hanya sekitar lima persen warga kulit putih Jerman yang tercatat berisiko mengalami kemiskinan. Pada warga yang pernah menjadi korban diskriminasi rasial, risikonya meningkat antara dua hingga tujuh kali lipat.

Pria muslim menjadi kelompok yang paling terkena dampak, dengan risiko kemiskinan sebesar 33 persen. 

Tingginya risiko kemiskinan bagi pria muslim di Jerman disebabkan tingginya jumlah pencari suaka, kata  Prof. Salikutluk. Menurutnya, sebanyak 20 persen responden beragama Islam baru tiba di Jerman sejak tahun 2013 dan kebanyakan merupakan pengungsi dari Suriah, Afganistan atau wilayah perang lain.

"Pengungsi mempunyai risiko kemiskinan yang lebih besar karena terbatasnya akses di pasar tenaga kerja.”

Petaka nama asing

Terlepas dari tingkat integrasi di Jerman, kemampuan bahasa atau status kewarganegaraan, warga bernama asing masih cenderung didiskriminasi dalam proses administrasi atau birokrasi. 

Salikutluk merujuk pada sejumlah eksperimen ilmiah, di mana peneliti mengirimkan surat lamaran kerja dengan berbagai nama palsu. Hasilnya, „orang dengan nama yang, misalnya, terdengar berasal dari  Turki, lebih jarang diundang menghadiri wawancara kerja.”

Poorly Treated? – Racism in Medicine

Temuan survei ini menggarisbawahi perlunya kebijakan khusus untuk memerangi kemiskinan dan mendorong kesetaraan bagi kelompok rentan. 

Salah satu rekomendasi kongkrit yang diajukan riset adalah agar pemerintah memudahkan pengakuan terhadap ijazah pendidikan atau sertifikat profesional dari luar negeri.

Pengakuan jamin keterbukaan akses

"Langkah ini akan mempercepat masuknya pengungsi dan kaum migran ke pasar tenaga kerja dalam negeri dan membuka akses bagi pekerja terampil dari luar negeri” menurut studi. 

Untuk memastikan integrasi tenaga kerja asing, Zerrin Salikutluk menuntut akses yang lebih lapang  terhadap kursus bahasa dan pendidikan integrasi.

Hal serupa juga diserukan oleh Presiden Institut Penelitian Ekonomi Jerman, DIW, Marcel Fratzscher. Di satu sisi, menurutnya hasil penelitian tersebut "mengejutkan”, tapi di sisi lain juga memuat "potensi yang sangat besar” bagi sekitar tiga juta pengungsi di Jerman.

Fratzscher menilai, dunia korporasi berkepentingan memberdayakan pengungsi karena peliknya kelangkaan tenaga kerja. Sebab itu, dia menuntut respons yang lebih baik dari pemerintah.

„Kita membutuhkan keluwesan yang lebih besar, tidak hanya dalam proses pengakuan kualifikasi asing, tapi juga di dalam sistem pendidikan sendiri,” kata dia.

Dalam kesimpulannya, riset DeZIM mencatat keterkaitan erat antara praktik rasisme dan risiko kemiskinan bagi minoritas di Jerman. Dan, hanya dengan upah yang layak, tingginya angka kemiskinan di kalangan pengungsi bisa diturunkan.

rzn/hp