1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Regulasi Anti-Deforestasi UE Ditunda, Produsen Asia Lega

4 Oktober 2024

Uni Eropa (UE) akhirnya menunda pelaksanaan regulasi anti-deforestasi yang selama ini dikritik oleh pebisnis dan petani di berbagai negara.

https://p.dw.com/p/4lPY0
Foto jarak dekan buah dan biji kakao segar
Salah satu produk yang terpengaruh regulasi EUDR adalah kakao, selain itu ada sawit dan kopi.Foto: Christophe Gateau/dpa/picture alliance

Produsen dari industri minyak sawit Malaysia hingga sektor kopi Vietnam pada hari Kamis (03/10) menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk menunda penerapan aturan anti-deforestasi atau EUDR. Penundaan selama setahun tersebut memicu protes dari aktivis lingkungan.

EUDR bertujuan mencegah impor produk yang mendorong deforestasi. Namun regulasi tersebut menghadapi penolakan keras dari banyak pemerintah dan industri. Mereka mengkritik EUDR karena aturan yang membingungkan dan persyaratan dokumentasi yang rumit yang menurut mereka akan sangat membebani petani skala kecil.

Keputusan UE untuk menunda merupakan suatu kelegaan, kata Trinh Duc Minh, ketua Asosiasi Kopi Buon Ma Thuot. "Perpanjangan jangka waktu itu perlu dan masuk akal," katanya kepada kantor berita AFP.

Ia mencatat harga kopi sempat naik karena perusahaan menimbun kopi sebelum deadline EUDR. Namun ia memperkirakan harganya sekarang mungkin mulai turun.

Nguyen Xuan Loi, kepala eksportir kopi Vietnam An Thai Group, juga memuji berita itu sebagai langkah positif.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Pada kenyataannya, Vietnam telah secara ketat mengelola masalah deforestasi," katanya kepada AFP. "Hampir tidak ada pelanggaran lagi."

Global Forest Watch mengatakan laju deforestasi hutan primer di Vietnam telah turun dari puncaknya pada tahun 2016, tetapi negara itu masih kehilangan sekitar 16.500 hektare pada tahun 2023. Penanaman komoditas diduga sebagai penyebab utama deforestasi.

Produsen sawit Indonesia sambut penundaan EUDR

Impor Uni Eropa menyumbang 16 persen deforestasi yang terkait dengan perdagangan global pada tahun 2017, menurut WWF. Ketika EUDR diadopsi pada tahun 2023, regulasi itu disebut-sebut sebagai terobosan besar untuk melindungi alam dan iklim.

Regulasi tersebut mengharuskan eksportir kakao, kedelai, kayu, sapi, minyak sawit, karet, kopi, dan barang-barang yang berasal dari produk-produk tersebut, untuk menyatakan bahwa barang-barang mereka tidak diproduksi di lahan yang digunduli setelah Desember 2020. 

Negara-negara termasuk Malaysia dan Indonesia telah secara vokal menentang aturan baru tersebut dan kritik semakin keras menjelang batas waktu implementasi pada bulan Desember. Brasil dan Amerika Serikat termasuk yang menyuarakan kekhawatiran.

Dewan Minyak Sawit Malaysia menyambut baik penundaan ini dan mengatakan ini adalah "kemenangan bagi akal sehat". Keputusan tersebut merupakan "kelegaan yang disambut baik bagi semua bisnis yang menyoroti perlunya penundaan," kata Kepala Dewan Minyak Sawit Malaysia, Belvinder Kaur Sron.

Mereka meminta UE untuk menanggapi tuntutan yang belum terselesaikan, termasuk tidak dilibatkannya petani skala kecil, kriteria pembandingan yang jelas, dan menerima standar minyak kelapa sawit berkelanjutan Malaysia.

Di Indonesia, asosiasi minyak kelapa sawit terkemuka di negara itu juga menyambut baik penundaan tersebut. "Seruan kami telah didengarkan," kata ketuanya Eddy Martono, yang juga mendesak UE untuk menerima standar keberlanjutan Indonesia dan mengakui upaya antideforestasi yang telah dilakukan.

Minyak kelapa sawit adalah salah satu komoditas ekspor utama Indonesia, yang juga adalah penyebab utama deforestasi. Negara ini kehilangan hampir 300.000 hektare hutan primer pada tahun 2023, meningkat dari tahun sebelumnya, meskipun masih lebih rendah dari puncaknya pada tahun 2016, menurut Global Forest Watch. 

Aktivis lingkungan kecewa EUDR ditunda

Para aktivis lingkungan Indonesia memperingatkan bahwa penundaan EUDR kemungkinan akan mengakibatkan lebih banyak penggundulan hutan yang tidak terkendali.

"Kami tidak dapat membayangkan berapa banyak lagi pembukaan lahan atau penggundulan hutan yang dapat disebabkan oleh penundaan satu tahun di Kalimantan Barat dan tempat-tempat lain seperti Papua," kata Uli Arta Siagian dari organisasi lingkungan WALHI.

Uli mengakui adanya tantangan dalam penerapan aturan tersebut. Namun ia mengatakan tidak ada jaminan penundaan selama setahun akan memperbaikinya.

"Seharusnya aturan itu diterapkan, dan kemudian Uni Eropa dapat melihat apa yang perlu diperbaiki," katanya.

ae/hp (AFP)