1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikSuriah

Rusia Pindahkan Pangkalan Militer dari Suriah ke Libya?

19 Desember 2024

Rusia dikabarkan mulai mengosongkan pangkalan militernya di Suriah. Satu-satunya lokasi untuk berpindah adalah Libya. Dikhawatirkan, kehadiran Rusia di jantung Laut Tengah akan menambah ketegangan di kawasan

https://p.dw.com/p/4oMa6
Serdadu Rusia di Suriah
Militer Rusia berpatroli di sekitar pangkalan militernya di SuriahFoto: Leo Correa/dpa/picture alliance

Pengamatan citra satelit dan lalu lintas udara mendeteksi pergerakan signifikan oleh Rusia di pangkalan militernya di Suriah. Satu per satu perlengkapan tempur dibongkar untuk dikapalkan, mulai dari helikopter tempur hingga sistem pertahanan udara S-400. Adapun sekelompok orang menunggu keberangkatan di pangkalan udara dengan koper dan ransel.

Adapun di pesisir, kapal-kapal angkatan laut Rusia sudah terlihat meninggalkan Suriah pada 11 Desember, dua hari sebelum jatuhnya rezim Assad.

Pejabat Rusia membantah telah meninggalkan Suriah dan sebaliknya mengklaim sedang bernegosiasi dengan kelompok pemberontak di Damaskus.

Rusia memiliki dua aset militer penting di Suriah, pangkalan laut Tartus yang didirikan pada tahun 1971, dan pangkalan udara di Hmeimim yang beroperasi sejak tahun 2015.

Tartus adalah satu-satunya pangkalan laut Rusia di luar bekas wilayah Uni Soviet. Di Suriah, Rusia sudah bertapak jauh sebelum invasi ke Ukraina pada tahun 2022. Tujuannya adalah untuk "melawan, menghalangi, dan memantau setiap operasi NATO di Mediterania," lapor Institut Studi Perang, ISW, baru-baru ini.

Hmeimim digunakan sebagai pos logistik dan persinggahan untuk aktivitas Rusia di Afrika. Moskow sepenuhnya menguasai pangkalan tersebut tak lama setelah Rusia memasuki perang saudara Suriah.

Presiden Vladimir Putin membantu Assad menumpas pemberontak antipemerintah. Namun sejak pertengahan Desember, Moskow harus tunduk pada titah oposisi di Damaskus.

Which countries win, which lose from the upheaval in Syria?

"Sejauh ini, baik Hay'at Tahrir al-Sham, HTS, maupun Rusia bersikap pragmatis dan telah mulai berunding, kata Nanar Hawach," analis senior untuk Suriah di lembaga pemikir Crisis Group, kepada DW.

"Saat ini Rusia beroperasi di bawah perlindungan HTS, dengan pasukan HTS melindungi konvoi Rusia yang melaju ke pangkalan angkatan laut dan pangkalan udara," jelasnya. "Namun, kita juga harus ingat bahwa Rusia memainkan peran yang sangat menonjol dan penting dalam perang melawan HTS."

Rekam jejak itu membuat kehadiran militer Rusia di masa mendatang di Suriah dipertanyakan.

Sebab itu,Moskow sedang merelokasi sistem pertahanan udaradan senjata canggih lainnya dari Suriah ke pangkalan-pangkalan yang dikuasainya di Libya, lapor harian Amerika Serikat Wall Street Journal pada hari Selasa (17/12), mengutip pejabat AS dan Libya yang tidak disebutkan namanya.

Pindah ke Libya?

Pemindahan sistem persenjataan dari Suriah, penangguhan ekspor gandum Rusia ke Suriah dan penolakan HTS terhadap tawaran bantuan kemanusiaan Rusia, mengindikasikan sebuah perpisahan.

Pakar dan analis juga mengatakan bahwa kapal-kapal angkatan laut Rusia kemungkinan besar sedang menuju pelabuhan Tobruk di Libya.

Tapi saat ini, semuanya hanya spekulasi, menurut Jalel Harchaoui, seorang ilmuwan politik dan pakar Libya di Royal United Services Institute for Defense and Security Studies, atau RUSI, di Inggris. "Terlepas dari apakah Rusia akan tetap bertahan atau hengkang, perkembangan teranyar akan mengubah cara mereka beroperasi di Suriah," ungkapnya kepada DW.

"Mereka tidak akan pernah bisa mempertahankan kenyamanan, keamanan, dan kepastian yang sama seperti sebelumnya," kata Harchaoui. "Mereka akan kesulitan menjamin logistik, listrik, air, dan makanan mereka sendiri. Mereka juga tahu bahwa ketika Anda menjalankan pangkalan asing, Anda memerlukan tingkat kooperasi tertentu dari masyarakat di sekitar dan juga negara, dalam hal pembagian intelijen. Semua itu kini hilang."

Belum ada yang jelas, timpal Wolfram Lacher, seorang peneliti senior dan pakar Libya di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan.

"Sejauh yang saya tahu, yang belum kita lihat adalah pergerakan langsung antara pangkalan Suriah dan Libya," katanya. "Namun, jelas, seiring pangkalan Suriah menjadi semakin genting, posisi penting Libya juga meningkat."

Libya sudah menjadi semakin penting bagi Rusia, kata Lacher dan Harchaoui menegaskan.

Pada tahun 2024, surat kabar Inggris The Telegraph melaporkan bahwa Rusia telah memperkuat landasan pacu dan pertahanan di pangkalan udara Libya, membangun struktur baru, dan mengirimkan persenjataan.

Dinamika baru di Libya?

Sejak 2014, Libya terbelah dua antara pemerintahan resmi GNU di barat, dan penguasa baru di timur yang dikawal Tentara Nasional Libya di bawah Jendral Khalifa Haftar.

Sejak lebih dari satu dekade berperang, kedua pihak gagal membuat kemajuan signifikan untuk membentuk kesatuan.

"Selama beberapa tahun terakhir, faksi-faksi bersenjata telah terkunci dalam kebuntuan yang membuat Libya sebagian besar terbebas dari konflik besar, tetapi itu sebagian besar bergantung pada ... dua kekuatan asing dengan pasukan militer yang signifikan di lapangan, Rusia dan Turki," tulis Frederic Wehrey, seorang peneliti senior dalam Program Timur Tengah di Carnegie Endowment for International Peace, minggu lalu.

"Kejatuhan Assad ... dapat memengaruhi keseimbangan yang rapuh ini," imbuhnya, dengan alasan bahwa konflik Libya yang membeku berpotensi mengalami hal yang sama seperti yang terjadi di Suriah dan kembali berkobar menjadi konflik.

Perkembangan di kawasan mungkin bergantung pada langkah Rusia selanjutnya. Jika Putin mampu meyakinkan Haftar untuk mengizinkan Rusia membangun pangkalan permanen di Libya, ini akan menjadi tantangan besar bagi NATO.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris