Samarinda Tanpa Batu Bara
Selama berbelas tahun Samarinda mengandalkan batu bara untuk menjamin kemakmuran. Tapi ketika harga komoditas andalan Indonesia itu menukik tajam, seisi provinsi tenggelam dalam krisis.
Simalakama Globalisasi
Runtuhnya harga batu bara di pasar dunia membuat Kalimantan Timur kelimpungan. Provinsi berpenduduk 3,5 juta orang itu tergolong yang paling parah terkena dampak fluktuasi harga komoditas andalan tersebut. Dari 127 Dollar AS per ton 2011 silam, kini harga emas hitam itu merosot di kisaran 80 Dollar AS per ton. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yakin harga batu bara akan cendrung menurun
Panen Emas Hitam
Sebanyak 51% pendapatan daerah Kalimantan Timur diperoleh dari sektor tambang dan gas. Postur anggaran tersebut selama ini ditopang meriahnya pasar batu bara dunia dengan Cina dan India sebagai pembeli utama. Pada 2010 silam Badan Pemeriksa Keuangan memasukkan 13 kabupaten di provinsi Kalimantan Timur dalam daftar daerah paling kaya di Indonesia.
Gelombang Kebangkrutan
Mengandalkan batu bara sebagai penyedia lapangan kerja ternyata berujung runyam. Ketika harga menukik dan pemasukan tambang menyusut, puluhan perusahaan tambang kecil menghentikan produksi. Awal 2016 jumlah buruh yang dipecat melebihi 10.000 orang dan pada September 2016 angka pengangguran mencapai 7,95%. Situasi itu juga menciptakan ketegangan sosial, terutama di Samarinda dan Balikpapan
Nasib Berbalik
Pasalnya bukan cuma pertambangan saja, bisnis batu bara juga ikut menopang lusinan industri lain seperti perhotelan, hiburan, transportasi dan bahkan usaha kecil dan menengah. Tidak heran jika pada 2015 silam pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur merosot di kisaran minus 0,85%. Situasi serupa terjadi sepanjang tahun 2016. Padahal tahun 2010 Kaltim masih menikmati pertumbuhan sebesar 5%.
Ekonomi Lesu
Efek domino batubara terasa pada ekonomi Samarinda. Pusat perbelanjaan terbesar misalnya mengalami sepi penyewa dan pengunjung. Sementara asosiasi perhotelan mendesak pemerintah menerapkan moratorium hotel menyusul tingkat hunian yang anjlok sebesar 40%. Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia, INSA, mengeluhkan penurunan kinerja industri sebesar 60%. Akibatnya harga sewa kapal anjlok hingga sepertiganya
Dosa Lingkungan
Penutupan tambang juga menyisakan masalah lingkungan buat Kalimantan Timur. Dengan konsep tambang terbuka, kini banyak lubang tambang yang dibiarkan terbengkalai. Jumlahnya menurut Jaringan Advokasi Tambang mencapai 4.464 lubang. Sedianya setiap perusahaan harus menyerahkan Uang Jaminan Reklamasi Tambang untuk biaya penghijauan kembali. Tapi regulasi tidak selamanya dipatuhi.
Sembunyi Tangan
Komisi Pemberantasan Korupsi mengeluhkan ada banyak pengusaha yang mengemplang atau tidak menyetor dana lingkungan tersebut. Direktorat Jendral Mineral dan Batubara mengklaim jumlah perusahaan yang menunggak mencapai 65%. Padahal biaya reklamasi yang dibebankan pada perusahaan hanya berkisar 60 juta Rupiah per hektar atau 500 hingga 2.000 Rupiah per ton batubara.
Tanggungan Pemerintah
Akibatnya pemerintah provinsi harus menanggung biaya pemulihan lingkungan. Tahun 2014 saja Pemprov Kaltim mencatat biaya yang ditimbulkan akibat kepunahan biodiversitas pada area seluas 165.000 hektar mencapai 11,88 triliun Rupiah.
Rugi di Rakyat
Sementara dana restorasi dan reklamasi lahan yang seluas 398.000 hektar mencapai 12,8 triliun Rupiah. Gubernur Kaltim, Awang Faroek menyebut total nilai kehilangan manfaat dan pemulihan lingkungan bisa mencapai Rp 242,1 triliun per tahun.
Masa Depan Tanpa Batubara
Kini pemerintah provinsi didesak untuk menggalakkan pertumbuhan di sektor non migas buat menopang perekonomian. Inisiatif tersebut juga didukung pemerintah pusat dengan mengucurkan dana sebesar 165 miliar Rupiah dari APBN untuk membangun sektor pertanian di provinsi kaya sumber daya tersebut. Masih harus dilihat apakah sektor pertanian akan mampu mengawali kebangkitan perekonomian Kaltim.