1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sebuah Paradoks Tentang Kudeta Demi Demokrasi

23 September 2006

Kudeta Militer di Thailand masih menyisakan kekhawatiran yang mendalam di Eropa. Media-media internasional terutama sedang menunggu langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintahan militer di Thailand. Selain itu hukuman mati bagi tiga warga Kristen di Indonesia juga menjadi sorotan.

https://p.dw.com/p/CPIx
Sonthi Boonyaratkalin
Sonthi BoonyaratkalinFoto: AP

Demokrasi adalah kata kunci yang mengisi tajuk-tajuk milik surat kabar Eropa ketika membahas kasus kudeta militer di Thailand. Termasuk diantaranya harian Perancis, Le Monde yang menurunkan judul, sebuah paradoks tentang kudeta demi demokrasi.

"Tiga tantangan sedang menunggu pemerintahan militer. Pertama mereka harus menghindari pecahnya kerusuhan berdarah di selatan wilayah negaranya yang juga merupakan benteng milik pemerintahan terguling Takhsin Sinawatra. Kedua mereka harus meredakan konflik dengan kaum muslim di selatan yang semakin radikal sejak tahun 2004 dan telah menelan 1500 korban jiwa. Pihak militer sendiri akan dipaksa untuk menaati kewajibannya. Yaitu menepati janjinya dan secepatnya mengembalikan kekuasaan ke tangan masyarakat sipil. Sebuah kudeta demi demokrasi memang sudah menjadi paradoks tersendiri. Mudah-mudahan para Jendral di thailand sana bertindak hingga akhir secara paradoks."

Sementara harian Swiss, Neue Zürcher Zeitung yang terbit di Jenewa menurunkan tajuk berjudul: Apakah tentara dapat menjadi penyelamat demokrasi?

3Fakta bahwa militer mengakhiri kekacauan politik di Thailand, setidaknya disambut oleh banyak orang di Bangkok. Demokrasi di negeri ini telah kehilangan setiap kepercayaannya di bawah pemerintahan terguling Takhsin. Argumentasi itu sendiri sangat berbahaya, karena kudeta militer adalah tamparan keras pada wajah demokrasi baru di Thailand. Kini muncul kekhawatiran, bahwa rakyat Thailand telah memutuskan sesuatu yang salah yang bisa menghantarkan kaum populis menuju tangga kemenangan. Bahkan jika mereka yang melakukan kudeta berniat membangun kabinet kompeten yang mewakili semua kekuatan politik, sebuah rasa tidak nyaman tetap bisa dirasakan. Karena terlepas dari jutaan kata-kata indah yang dilontarkan, kekuatan utama yang berdiri di belakang pemerintahan baru ini tetaplah militer dan bukan rakyat sipil."

Selain masalah kudeta militer di Thailand, sejumlah media cetak Eropa juga mengarahkan sorotannya ke Indonesia. Tepatnya ke arah kota Palu, di mana Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu dieksekusi mati. Harian liberal kiri Italia, Corriere della Sera yang terbit di Roma berkomentar:

"Permohonan dari tahta suci Vatikan, dari Amnesty Internasional dan Uni Eropa untuk menangguhkan hukuman mati bagi tiga warga Kristen di Indonesia telah mengalami kegagalan. Bagi para hakim, ketiga orang itu adalah otak di balik pembantaian yang dilakukan milisi Kristen tahun 2000. Namun di balik kredo pertikaian agama, juga bisa saja terdapat alasan-alsan politis. Sampai hari ini belum juga jelas, siapa dalang di balik kerusuhan tersebut, siapa yang memberikan dana, dan siapa yang memberikan instruksi. Faktanya adalah, sebuah penyeldikan yang transparen tidak pernah dilakukan.

Dalam peristiwa ini hanya satu kejelasan yang bisa dilihat, bahwa mereka yang dihukum mati hanyalah satu dari sedikitnya orang yang dihadapkan ke pengadilan. Ketika ketiga warga kristen itu dieksekusi mati, sejumlah warga Muslim yang juga ditangkap setelah kerusuhan hanya dijatuhi hukuman seberat-beratnya 15 tahun penjara."