210109 Pakistan Talibanisierung
24 Januari 2009Militan Islam Pakistan senantiasa berupaya memperluas kekuasaan di kawasan perbatasan ke Afghanistan. Sementara ini, distrik Swat di Provinsi Perbatasan Barat Laut sepenuhnya berada dalam genggaman Taliban. Pemimpinnya Maulana Fazlullah dikenal sebagai imam radikal.
Hingga kini, sepak terjang Taliban di lembah Swat telah memakan ratusan korban, termasuk puluhan polisi dan tentara.
"Secara de facto negara tak tak punya kekuasaan lagi. Pemerintah tidak bisa lagi menjamin keamanan rakyatnya", kata seorang pemuda.
Liaquat, demikian ia menyebut dirinya. Rasa takut pada militan Islam membuat ia menyamarkan nama aslinya. Pemuda 17 tahun dari lembah Swat ini datang ke ibukota Pakistan Islamabad untuk melanjutkan studi ke sekolah tinggi. Sama dengan sepupunya Fawad.
"Sekolah tinggi di tempat asal kami sudah hancur diledakkan oleh Taliban", kata Fawad.
Meski begitu ia masih bisa melanjutkan pendidikan. Anak-anak perempuan di Swat tidak seberuntung itu. Hampir tidak mungkin bagi mereka untuk melanjutkan studi ke kota. Sekolah bagi anak perempuan saja, ibarat duri dalam daging bagi ekstrimis.
Pendidikan bagi perempuan dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Lebih dari 170 sekolah di Pakistan diledakkan atau dibakar dalam dua tahun terakhir, kata Daniel Toole, Direktur UNICEF untuk Asia Selatan, Jumat kemarin (23/01) di Jenewa.
Serangan terhadap sekolah-sekolah itu diduga kuat dilancarkan oleh Taliban. Target utamanya adalah sekolah untuk anak perempuan di wilayah suku-suku dan di Provinsi Perbatasan Barat Laut.
Pemerintah setempat berupaya menegakkan keamanan kembali, tegas Zahir Khan dari Partai Nasional Awami.
"Pemerintah provinsi berunding dengan pihak yang berada di balik serangan terhadap sekolah-sekolah. Tapi sebetulnya tentara lah yang bertanggungjawab atas hukum dan peraturan", kata Khan lewat telefon.
Bahwa serangan itu dilancarkan oleh militan Islam, sama sekali tidak ia singgung.
Pada libur musim dingin, kelompok ekstrimis tetap melanjutkan serangan dengan bom. Karena itu tidak ada jaminan bahwa sekolah bagi anak perempuan bisa beroperasi lagi setelah libur usai, akhir bulan Maret.
Orang tua mengkuatirkan keselamatan anak-anak mereka. Guru-guru juga ketakutan. Mereka tidak percaya pada tentara pemerintah yang tidak mampu membasmi perlawanan Taliban dalam pertempuran berbulan-bulan.
Pemuda Fawad yang harus merantau untuk melanjutkan sekolah, merindukan rumah dan keluarga yang ia tinggalkan di Swat. Ia berkata,
"Ayah saya bilang, kalau mau pulang saya harus membiarkan janggut saya tumbuh dan memakai tutup kepala putih, persis seperti para ekstrimis itu."
Karena itulah aturan berpakaian yang ditetapkan oleh Taliban di Swat. Situasi yang membuat Fawad tak berani pulang ke kampung halamannya. (rp)