1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSuriah

Siapa Minoritas Alawi yang Dulu Kuasai Suriah?

3 Januari 2025

Kekuasaan brutal dinasti Assad di Suriah banyak dibangun di atas dukungan minoritas Alawi. Kini mereka diserang dan dicap sebagai pengkhianat. Siapa sekte misterius yang sempat ditakuti itu?

https://p.dw.com/p/4olDx
Aksi protes warga Alawi di Damaskus, Suriah
Otoritas keamanan Suriah berjaga-jaga di sekitar aksi demonstrasi warga minoritas Alawi di Damaskus, (25/12)Foto: Omar Sanadiki/AP Photo/picture alliance

Amarah masih menggema setelah serangan terhadap sebuah situs suci Syiah di kota Aleppo, pekan lalu. Buntutnya, ribuan orang berdemonstrasi menentang aksi intoleransi di Suriah, seiring meningkatnya serangan terhadap penganut Syiah Alawiyah, mazhab minoritas yang juga menjadi rujukan bagi bekas diktatur Bashar al-Assad.

Video itu sendiri diklaim sebagai hoaks, karena menampilkan kerusakan setelah pembebasan kota beberapa waktu silam. Tapi klarifikasi pemerintah tidak mengusir kecurigaan di kalangan minoritas terhadap penguasa baru Suriah.

"Tolak pembakaran tempat suci dan diskriminasi agama. Tidak terhadap sektarianisme. Hidup kebebasan di Suriah," tulis demonstran di salah sat poster seperti yang diwartakan televisi Qatar, al-Jazeera.

Konflik ini merupakan aspek lain dalam transisi Suriah yang terus berkembang.

Anggota minoritas Alawi Suriah khawatir mereka akan dihukum atau dianiaya karena komunitas mereka memiliki hubungan yang sudah lama dengan keluarga Assad, yang memerintah Suriah secara brutal selama 54 tahun.

Minoritas Alawi sering dituduh telah diuntungkan oleh pemerintahan dinasti Assad. Namun, mereka juga telah membayar mahal untuk kedekatan tersebut.

Syrian minorities wary of HTS' promises of inclusivity

Siapa minoritas Alawi Suriah?

Perkiraan pengamat menunjukkan bahwa, sebelum perang saudara dimulai pada tahun 2011, kaum Alawi berjumlah antara 10% dan 13% dari total populasi Suriah.

Syiah Alawiyah muncul pada abad kesembilan di Suriah timur laut. Akidahnya mengemban keragaman yang kaya dari berbagai sistem kepercayaan pada saat itu, menurut para ahli agama. Sekte ini terkenal sangat tertutup. Menurut kaum cendikia, penganut Alawi memiliki interpretasi yang berbeda tentang beberapa rukun Islam, yang dianggap mendasar oleh kaum Muslim.

Perbedaan mencakup, antara lain, tata cara adzan salat berjamaah dan beribadah Haji. Penganut Alawi lebih suka beribadah secara pribadi, di rumah atau di luar ruangan, percaya bahwa ziarah bisa menjadi perantara doa, tidak mewajibkan jilbab, dan bahkan menggunakan anggur dalam ritual ibadah. Banyak ajarannya yang mengandung pemujaan alam, termasuk matahari, bulan dan bintang.

Penganut Alawi banyak memiliki kesamaan dengan Muslim Syiah. Mereka percaya kepada Ali bin Abu Thalib sebagai penerus Nabi Muhammad.

Namun, sebagai akibat dari campuran berbagai kepercayaan, kaum Alawi acap dipersekusi karena dituduh melakukan bid'ah dan sebabnya mengalami didiskriminasi sepanjang sejarah, mulai dari era Perang Salib hingga Kesultanan Utsmaniyah di Turki.

Emansipasi lewat kolonialisme

Nasib kaum Alawi berubah pada awal abad ke-20 selama periode kolonial Prancis di Suriah. Sebagai bagian dari taktik "adu domba", Prancis memisahkan minoritas Alawi dan Druze dari mayoritas Muslim dan, pada tahun 1922, mendirikan negara otonom bagi kaum Alawi.

Sementara mayoritas Sunni di Suriah menolak bergabung dengan angkatan bersenjata yang dikendalikan Prancis. Sebaliknya kaum Alawi, yang untuk pertama kalinya menjadi bagian dari penguasa, merasa nyaman tidak diperangi karena keyakinan mereka.

Pada tahun 1946, setelah Suriah memerdekakan diri dari Prancis, "kaum Alawi bertransformasi melalui politik," tulis para peneliti di lembaga pemikir AS, Foreign Policy Research Institute.

"Pada tahun 1955, sekitar 65% perwira bintara adalah kaum Alawi." Setelah kemerdekaan, kaum Alawi mendominasi angkatan bersenjata, hingga akhirnya pada tahun 1963, ketika lima perwira melancarkan kudeta.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Tiga di antaranya adalah anggota minotitas Alawi. Dan salah seorangnya adalah Hafez Assad, yang kemudian mengambil alih kekuasaan pada tahun 1971.

Hafez Assad mengisi jabatan kunci dengan tokoh Alawi yang loyal demi mencegah kudeta lanjutan dan mengamankan kekuasaan sendiri. Anggota minoritas yang tidak setia, seperti simpatisan komunis atau Ikhwanul Muslimin, diperangi dan dipenjara.

Assad juga menormalisasi keberadaan Alawi di dalam agama Islam. "Dia membangun masjid di kota-kota Alawi, berdoa dan berpuasa di depan umum, dan mendorong rakyatnya untuk melakukan hal yang sama," kata Joshua Landis, seorang peneliti nonresiden di Quincy Institute for Responsible Statecraft.

Assad juga mencoba menghentikan tradisi kaum Alawi merayakan hari raya nonmuslim, seperti tahun baru Persia, Nowruz, dan hari raya Kristen, Natal.

Kekecewaan terhadap Assad

Selama perang saudara yang berlangsung selama 13 tahun, komunitas Alawi menjadi tulang punggung militer Suriah. Menurut Badan Suaka Uni Eropa, di beberapa kota dan desa yang mayoritas penduduknya adalah warga Alawi, antara 60% dan 70% pemuda terbunuh atau terluka selama perang. Banyak pemuda Alawi juga bersembunyi atau melarikan diri dari wajib militer.

Survei terbaru menunjukkan bagaimana, selama beberapa tahun terakhir, banyak warga Alawi yang merasa semakin kecewa dengan rezim Bashar al- Assad, tulis para peneliti di Yayasan Konrad Adenauer, setelah melakukan survei terhadap komunitas Alawi di Suriah pada awal tahun 2024.

Kecuali anggota elit Suriah yang kecil, warga Alawi menghadapi kesulitan ekonomi yang sama seperti warga Suriah lainnya. Namun, mengingat sifat otoriter rezim Assad, banyak yang merasa tidak dapat berbicara, kata para peneliti.

Sebabnya, penggambaran hitam-putih terhadap kaum Alawi sebagai pro-Assad "gagal menangkap spektrum pandangan yang sangat bernuansa di kalangan Alawi, mulai dari loyalis rezim yang gigih hingga pembangkang diam-diam," para peneliti menyimpulkan.

"Ia juga tidak menjelaskan secara memadai kesulitan sosial ekonomi yang telah memengaruhi mereka seperti halnya komunitas Suriah lainnya," atau "kerugian yang tidak proporsional" yang telah diderita komunitas tersebut, catat para peneliti.

Diadaptasi dari naskah DW berbahasa Inggris