1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Situasi HAM di Bangladesh Memburuk di Bawah Muhammad Yunus?

Tasmiah Ahmad
1 Januari 2025

Meski berkomitmen ingin melindungi hak asasi manusia, pemerintahan transisi Bangladesh dikritik karena maraknya kasus pelanggaran HAM, termasuk kematian pendukung mantan PM Syeikh Hasina dalam tahanan.

https://p.dw.com/p/4ohtS
Muhammad Yunus
Muhammad YunusFoto: Indranil Mukherjee/AFP/Getty Images

Penasehat utama pemerintahan transisi Muhammad Yunus sempat bertemu dengan penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan pekan lalu, di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional atas situasi Hak Asasi Manusia di Bangladesh.

Laporan demi laporan berdatangan, yang mendokumentasikan serangan terhadap minoritas penganut Hindu, beserta pengrusakan rumah ibadah, di negara muslim tersebut.

"Kedua pemimpin menyatakan komitmen mereka untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia semua orang, tanpa memandang agama," menurut pernyataan Gedung Putih.

Meningkatnya kekerasan terhadap minoritas

Umat Hindu dan minoritas lainnya di Bangladesh kian lantang mengeluhkan perundungan di bawah pemerintahan sementara di Dhaka. Transisi dimulai setelah mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina melarikan diri ke negara tetangga India pada bulan Agustus 2024, setelah digulingkan oleh perlawanan mahasiswa.

Dalam salah satu insiden terbaru, sebanyak 17 rumah milik komunitas Kristen Tripura di distrik Bandarban di tenggara Bangladesh dilaporkan dibakar pada Malam Natal. Sebagai tanggapan, kantor Yunus mengutuk serangan tersebut, dengan menyatakan bahwa tindakan tersebut "menyedihkan dan tidak dapat diterima."

Meskipun keamanan telah ditingkatkan di Bandarban, Kelompok Analisis Hak dan Risiko RRAG, sebuah lembaga pengawas hak asasi manusia, mengkritik Yunus atas kegagalannya menangani meningkatnya pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan minoritas agama.

Yunus: laporan pelanggaran HAM dibesar-besarkan

RRAG mengidentifikasi pelanggaran serius, dengan mencatat bahwa lebih dari 272.000 orang, terutama lawan politik, telah dijerat dalam 1.598 kasus pidana selama 100 hari pertama pemerintahan Yunus.

Menurut dokumentasi RRAG, antara 19 September dan 1 Oktober, sedikitnya empat orang tewas dibunuh, dan lebih dari 75 lainnya terluka.

Nur Khan Liton, seorang aktivis hak asasi manusia dan anggota Komisi Penyelidikan Penghilangan Paksa, yang dibentuk oleh pemerintah transisi, mengatakan kepada DW bahwa orang-orang yang terlibat dalam kasus pidana sering menghadapi serangan fisik selama penahanan.

Menanggapi kekhawatiran yang berkembang, Yunus menegaskan bahwa laporan pelanggaran hak asasi manusia dibesar-besarkan secara luas, lapor kantor berita AP.

Selama kunjungan Menteri Luar Negeri India Vikram Misri ke Dhaka awal bulan ini, mitranya dari Bangladesh, Mohammad Jashim Uddin mengatakan,masalah internal Bangladesh tidak boleh menjadi sasaran campur tangan asing.

Uddin mengatakan kepada wartawan, Bangladesh meminta India untuk tidak mencampuri urusan dalam negerinya, demikian dilaporkan Daily Star yang berbasis di Dhaka.

"Kami katakan bahwa orang-orang dari semua agama di Bangladesh bebas menjalankan kepercayaan mereka. Ini urusan dalam negeri kami. Tidak diharapkan negara lain mengomentari urusan dalam negeri kami. Kami tidak melakukan hal serupa kepada negara lain," lapor harian berbahasa Inggris itu mengutip pernyataan menlu Bangladesh itu.

Bangladesh seeks India's extradition of ousted PM

Tingginya kasus kematian dalam tahanan

Sejumlah pemimpin teras Partai Liga Awami pimpinan Syeikh Hasina dikabarkan telah meninggal dunia dalam tahanan, yang memicu kekhawatiran dan kontroversi serius.

Hanya dalam waktu 29 hari, empat pemimpin Liga Awami dilaporkan tewas karena "serangan jantung" saat ditahan di penjara Bogura, sehingga jumlah total anggota dan aktivis bekas partai pemerintah yang teas dalam tahanan polisi selama empat bulan terakhir menjadi sedikitnya sepuluh orang.

Anggota keluarga bersikeras bahwa ada tanda-tanda penyiksaan pada jenazah korban.

Mantan Menteri Informasi dan Penyiaran Bangladesh Mohammad Ali Arafat mengatakan kepada DW, kelak misteri kematian yang tidak wajar ini pada akhirnya akan terungkap.

"Selain itu, tidak ada satu pun anggota keluarga yang dapat mengajukan kasus dan akses mereka terhadap keadilan juga ditolak," tambahnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Kebebasan pers di Bangladesh

Jurnalis yang berpihak pada pemerintahan Hasina sebelumnya mengatakan, mereka menghadapi perundungan di bawah pemerintahan Yunus, yang dituduh secara sistematis menekan media independen.

Menurut laporan RRAG, lebih dari 354 jurnalis telah dilecehkan, 74 kasus kekerasan dilaporkan, 113 tuntutan pidana diajukan, dan izin pers dicabut untuk 167 jurnalis.

Komite Perlindungan Jurnalis dan Reporter Lintas Batas, RSF, telah mendesak pemerintah untuk memastikan proses hukum yang adil, dan menegakkan hak prosedural bagi wartawan.

Masood Kamal, seorang editor berita senior, mengatakan kepada DW bahwa jurnalis yang berpihak pada pemerintahan Hasina kehilangan pekerjaan mereka di bawah pemerintahan sementara.

"Para pendukung rezim baru menargetkan jurnalis yang berpihak pada pemerintahan sebelumnya, dengan melibatkan mereka dalam berbagai kasus," ungkapnya.

Kekhawatiran atas demoralisasi polisi

Para pengacara juga menghadapi kendala mengawal kasus hukum yang diajukan terhadap mereka yang menentang pemerintah sementara.

Kepada DW, pengacara terkemuka Bangladesh dan aktivis hak asasi manusia ZI Khan Panna, mengungkapkan kekhawatiran serius atas memburuknya lingkungan hukum.

Menurutnya, para pengacara tokoh antipemerintah acap diserang di dalam gedung pengadilan dan kemudian dibawa ke kantor polisi, di mana mereka secara keliru dituduh dalam kasus-kasus tambahan. 

"Bangladesh belum pernah menyaksikan hal seperti ini sebelumnya," kata Panna, menyoroti situasi teranyar.

Pembaca Berita Transgender Pertama di Bangladesh

Pemerintah sementara Yunus telah menghadapi kritik luas, karena memberikan impunitas kepada mereka yang bertanggung jawab atas kematian 44 petugas polisi selama protes mahasiswa.

Barrister Andaleeve Rahman, pemimpin Partai Jatiya Bangladesh yang berhaluan kanan-tengah, menyampaikan kekhawatiran kepada DW tentang preseden negatif yang ditetapkan oleh impunitas ini.

Rahman mengkritik kurangnya komisi untuk menyelidiki kematian ini, dengan menunjukkan bahwa kasus-kasus ditutup tanpa mengungkap kebenaran di balik insiden tersebut. Ia memperingatkan,  tindakan seperti itu dapat menurunkan moral kepolisian dan melemahkan komitmen petugas terhadap tugas.

"Petugas polisi adalah bagian dari masyarakat, dan jika impunitas diberikan dengan cara ini, mereka akan kehilangan gairah untuk bekerja," katanya.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris.