1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Swat Membara, Penduduk Mulai Mengungsi

9 Mei 2009

Militer Pakistan melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap Taliban di Lembah Swat. Ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi dan terancam dijadikan tameng hidup oleh Taliban.

https://p.dw.com/p/Hmw1
Penduduk Lembah Swat terpaksa mengungsiFoto: AP

Belakangan gelombang pengungsi dari lembah Swat semakin deras membanjiri kamp-kamp pengungsi yang dibangun seadanya di wilayah barat laut Pakistan. Sejak dua hari lalu saja sedikitnya 200.000 pengungsi berdatangan.

Kebanyakan cuma berbekal baju dan sedikit makanan. Menurut pemerintah setempat dan PBB, diperkirakan 300.000 pengungsi mulai bergerak menjauhi wilayah pertempuran di sekitar lembah Swat.

Menurut laporan saksi mata ratusan penduduk tewas atau mengalami luka-luka akibat pertempuran di wilayah sekitar tempat tinggalnya. Di rumah sakit di Mingora seperempat pasien merupakan korban pertempuran terbaru antara pemerintah Pakistan dengan Taliban, ujar seorang dokter.

Militer memberlakukan larangan keluar rumah. Sementara Taliban mendirikan blokade jalan untuk menghalangi gerak para pengungsi agar tetap bertahan di wilayah pertempuran dan menjadi tameng
hidup.

Pakistan Flüchtlinge aus dem Swat Tal
UNHCR melaporkan, sekitar 200.000 pengungsi telah tertampung. 300.000 lainnya diperkirakan telah bergerak menjauhi wilayah pertempuranFoto: AP


"Permainan apa ini?"

Akbar Ali cukup beruntung. Ia dan keluarganya berhasil mencapai kamp pengungsi di distrik Swabi yang terletak di luar wilayah pertempuran. "Ketika bom-bom jatuh dari langit, kami segera meninggalkan rumah dalam panik. Kami bersama yang lain berlari menyusuri jalanan. Bom-bom kembali berjatuhan dan menewaskan banyak orang dari kelompok kami," ujarnya.

Lain lagi cerita Amanullah Khan. Ia segera memutuskan mengajak keluarga besarnya meninggalkan lembah Swat tak lama setelah militer Pakistan menggelar operasi militer. Saat ini Khan bersama keluarga berdesak-desakan di sebuah tenda milik PBB di sebuah kamp pengungsi.

Kahn berusaha mencari jawaban, mengapa ia harus meninggalkan tanah kelahirannya dan melarikan diri. "Dulu pemerintah bersikap tegas dan militer harus bertempur. Lalu mereka mengundurkan diri dan membuat perjanjian perdamaian dengan Taliban. Sekarang mereka kembali bertempur. Jadi permainan apa yang sedang mereka mainkan saat ini?" tanya Kahn.

Taliban susupi distrik tetangga

Pakistan schwere Gefechte Armee gegenTaliban
15.000 tentara dikerahkan untuk membasmi TalibanFoto: AP

Sejak musim panas lalu Taliban dan kelompok militan Islam lainnya di lembah Swat kerap terlibat bentrokan bersenjata dengan militer Pakistan. Namun memasuki awal tahun, Islamabad merasa perlu membuat perjanjian perdamaian dengan Taliban.

Pada akhirnya militer Pakistan menarik pasukannya dari lembah Swat dan Taliban dapat memberlakukan hukum Islam dengan persetujuan pemerintah di Islamabad.

Namun Taliban rupanya bukan mitra perundingan yang dapat dipercaya. Janji untuk menyerahkan semua senjata seperti yang tertera dalam perjanjian perdamaian diingkari secara sepihak. Sebaliknya Taliban malah memanfaatkan mundurnya serdadu Pakistan untuk menyusupi wilayah di sekitar lembah Swat. Mereka membakari sekolah-sekolah perempuan, membunuh polisi dan politikus lokal, serta melarang peredaran musik dan film.

Militer benarkan kebijakan Islamabad yang tidak konsisten

Tidak lama sebelum kunjungan Presiden Zardari ke Washington pertengah minggu lalu, pemerintah Pakistan dan pucuk pimpinan militer kembali mengubah drastis arah kebijakan terhadap Taliban dan sepakat menggelar operasi militer skala besar.

Pada pertempuran hari Sabtu (9/5) sedikitnya 55 pejuang Taliban terbunuh. "Sampai saat ini, kami berhasil membunuh ratusan pejuang Taliban," tandas Presiden Zardari kepada majalah Jerman, Spiegel.

Mayor Jendral Atthar Abbas, juru bicara militer Pakistan membenarkan tidak konsistennya kebijakan pemerintah Pakistan terhadap Taliban. "Untuk pemerintah ini adalah kemenangan besar. Masyarakat telah melihat, bahwa kami telah berupaya dengan perdamaian dan rekonsiliasi dan memberikan waktu cukup terhadap Taliban untuk melucuti senjatanya."

Tapi hal itu tidak terjadi dan warga Pakistan berhadapan dengan wajah sesungguhnya kelompok militan Islam itu, ujarnya menambahkan, "Bagi Taliban, ini bukan lagi soal memperjuangkan pelaksanaan Syariah Islam."

Einst war das Swat-Tal, nur knapp 150 Kilometer von der Hauptstadt Islamabad entfernt, eine Touristenregion. Heute füllen sich rund um das Tal die Notlager. Noch weiß niemand genau, wie viele Menschen vor der Militäroperation gegen die Taliban in der idyllischen Bergregion auf der Flucht sind.
Keindahan lembah Swat yang cuma berjarak 150 Km dari Islamabad dulu kerap memancing turis domestik maupun dari mancanegara. Kini puluhan kamp pengungsi memenuhi wilayah di sekitar lembah Swat. Belum jelas berapa jumlah penduduk yang mencoba bertahan di wilayah pertempuran

Memburu pemimpin Taliban

Keseluruhan diperkirakan satu juta penduduk telah meninggalkan wilayah pertempuran di lembah Swat. Militer Pakistan sebelumnya kerap dikritik lantaran dianggap setengah hati dalam memerangi Taliban.

Namun kini perang melawan Taliban akan dilanjutkan sampai titik darah penghabisan, begitu tandas jubir militer Abbas. Sasaran utama militer adalah melucuti sekitar 5000 anggota milisi bersenjata Taliban yang bercokol di Lembah Swat dan distrik Dir serta Buner yang terletak bersebelahan.

"Kami akan memburu para pemimpinnya. Mereka adalah pusat grafitasi gerakan Taliban," ujar Abbas. Jika militer mampu membunuh pemimpin Taliban, geliat kelompok ekstrimis itu akan mudah diredam.

Sebagian besar penduduk Pakistan mendukung operasi militer melawan Taliban. Namun mereka juga mengkhawatirkan dampak retaknya masyarakat yang hidup di daerah perbatasan.

Habibullah Khan yang tinggal di Swat telah kehilangan enam anggota keluarganya. "Kami percaya kepada Allah. Jika Dia menginginkan, semuanya akan kembali baik. Tapi saudara kami yang tewas sebagai pejuang adalah muslim. Kami pun juga muslim. Kenapa kita memerangi satu sama lain?"

SP/RN/ap/afp/dpa/rtr

Editor: Christa Saloh