1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Kekerasan Rasisme dan Keberanian Sipil

Daniel Scheschkewitz22 Agustus 2007

Peristiwa Mügeln, Jerman, bukan kejadian satu-satunya yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Jerman masih takut pada gerombolan ekstrim kanan. Komentar Daniel Scheschkewitz.

https://p.dw.com/p/CTA8
Kota kecil Mügeln, di wilayah timur Jerman
Kota kecil Mügeln, di wilayah timur JermanFoto: AP

Jika pernah hidup lama di luar negeri, maka akan tahu bagaimana sensibelnya bila ada berita buruk dari Jerman menyangkut rasisme dan aksi anti orang asing. Apalagi kalau ditambah dengan kekerasan.

Terutama jika berita itu berasal kota pusat ekstrim kanan seperti Leipzig. Insiden di Mügel menunjukkan peringatan kalangan anti–rasis, bahwa di beberapa daerah di Jerman Timur orang asing sering menjadi sasaran gerombolan ekstrim kanan terbukti benar. Dengan adanya kejadian ini nyatanya ada indikasi bahwa pesta rakyat yang digelar saat itu dihadiri sejumlah skinheads yang tidak ragu menggunakan kekerasan.

Untungnya, para korban selamat. Namun mereka masih trauma dan cedera karena mengalami luka goresan akibat serangan para ekstrimis kanan, walaupun polisi berusaha melindungi mereka dari serangan ekstrimis kanan.

Sementara ini sedang diselidiki apakah penggunaan kekerasan tersebut diorganisasi dan apakah betul berasal dari kubu ekstrim kanan. Yang lebih memalukan adalah kenyataan, bahwa penduduk setempat tidak berusaha melindungi warga asing yang hadir di pesta rakyat itu yang diserang oleh para ekstrimis kanan. Dan pernyataan Walikota Mügeln, kesalahan ada pada pendatang luar tidak meredakan situasi. Ternyata kasus seperti yang terjadi di Hoyerswerda dan Rostock sepuluh tahun lalu, secara keseluruhan menandakan bahwa masyarakat Jerman masih saja mentolerir aksi kekerasan kalangan ekstrim kanan.

Oleh karena itu, reaksi Menteri Utama Sachsen, Georg Milbradt, untuk langsung meninjau tempat kejadian serta melontarkan pernyataan mengutuk terhadap aksi para ekstrimis disambut baik. Namun, itu tidak cukup. Kalangan politisi Jerman seharusnya mempertanyakan, apakah upaya mereka untuk melancarkan penerangan dan kampanye preventif di tingkat sekolah, sosial maupun menindak secara hukum sudah cukup.

Tidaklah cukup, pemerintah Jerman hanya menjaga citra baiknya di luar negeri. Bahwa Jerman adalah negara yang ramah, menerima semua warna kulit dan agama, terbukti saat digelar Piala Dunia tahun lalu. Demi masa depannya Jerman harus dapat menjaga hubungan baiknya dengan orang asing yang hidup di Jerman, juga di daerah, dimana lapangan kerjanya sangat terbatas.

Namun, ada insiden lain baru-baru ini, yang juga menunjukkan bahwa Jerman masih jauh dari kenyataan itu. Akhir pekan lalu seorang pemain bola nasional dihina dan disebut dengan „schwarzes Schwein“, babi hitam oleh lawan mainnya. Ini adalah skandal!

Para imigran di Jerman, apakah ia berasal dari Afrika atau ia adalah penjual kain dari India maupun yang bersedia untuk berintegrasi masih saja mengalami kesulitan. Siapa yang mengharapkan para imigran untuk berintegrasi, maka ia juga harus bisa melindungi mereka dari aksi kekerasan maupun hinaan secara verbal di arena olah-raga.