1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Taliban di Afghanistan

3 September 2008

Siapakah mereka, apa yang diinginkan dan bagaimana tindakan mereka? Setelah tahun 2002 Taliban, pemberi dana dan penasehat mereka dari jaringan Al Qaida dapat membentuk formasi baru di berbagai wilayah suku Pakistan.

https://p.dw.com/p/FAqF
Polisi Afghanistan mencari anggota Taliban yang melarikan diri.Foto: picture-alliance / dpa

Bukan kebetulan kalau serangan terhadap tentara Jerman di Afghanistan utara terutama di Provinsi Kunduz bertambah banyak. Di daerah itu terdapat kelompok minoritas Pashtu yang menjadi tulang punggung pemberontak, bahkan bergabung dengan mereka.

"Mereka merekrut anggota dari suku-suku Pashtu yang tidak lagi terlibat dalam struktur kekuasaan dan dapat berlindung di balik jalinan kekuasaan itu."

Demikian pendapat Brigjen Denis Thomson, komandan kontingen Kanada dalam pasukan ISAF di Kandahar. Thomson mengenal seluk-beluk lawannya itu. Kandahar adalah tempat awal gerakan Taliban, dan dari tempat itu mereka sekarang memulai lagi aktifitasnya.

Di wilayah selatan dan timur Afghanistan itu, warga Pashtu merupakan mayoritas. Berbeda dengan wilayah utara, para pemberontak bukan hanya melakukan serangan sporadis, melainkan sering terlibat peperangan dengan pasukan asing dan pasukan Afghanistan. Alasan mengenai taktik militernya dijelaskan oleh Jendral Hans-Lothar Domröse pimpinan ISAF di Kabul:

"Para pemberontak datang dari Pakistan, membuat jebakan bom, mencetuskan bentrokan kecil dan kemudian menghilang lagi lewat perbatasan, tanpa terjadi sesuatu pun dengan mereka. Kalau terus-terusan tentu ini tidak menyenangkan."

Apalagi karena pasukan Afghanistan dan pasukan asing resminya tidak punya mandat untuk memasuki wilayah Pakistan. Dengan demikian di sana Taliban dan para penasehatnya dari jaringan al Qaida dengan bebas dapat membentuk formasi baru. Pemerintah Pakistan tidak berdaya. Pemerintah yang baru bahkan punya perjanjian untuk berdiam diri dengan kelompok radikal Islam itu.

Kelompok militan Islam menguat di dan sekitar ibukota Afghanistan, Kabul. Sejak awal tahun ini mereka berhasil melakukan sejumlah serangan spektakuler di kawasan itu Waheed Mujda, bekas anggota Taliban yang sekarang menjadi pengamat, menyebutnya sebagai kemenangan propaganda:

"Pemberontak hendak menunjukkan kelemahan musuh dan pemerintah Afghanistan. Hanya 50 meter dari istana presiden mereka dapat melakukan serangan. Mereka hendak menunjukkan, bahwa 40 bangsa yang ada, tidak mampu mewujudkan keamanan, baik bagi warga Afghanistan maupun bagi diri mereka sendiri."

Di wilayah selatan Afghanistan Taliban bahkan dapat memberlakukan struktur kekuasaan yang berjalan paralel. Diperkirakan di sana ada gubernur bayangan, kepala distrik atau sidang dewan bayangan. Kembali Jendral Denis Thomson:

"Mereka sukses karena bekerja melawan struktur pemerintah yang sejak 30 tahun tidak berfungsi lagi. Jadi musuh lainnya adalah ketidak-berhasilan kita untuk memperkuat lembaga-lembaga pemerintahan di selatan."

Konflik dengan Taliban sebenarnya adalah perang ideologi. Yang penting bagi mereka adalah keabsahan kekuasaan Taliban, kata Joanna Nathan dari 'International Crisis Group'. Tetapi menurut dia disini pulalah letaknya peluang:

"Soal ini harus lebih sering disinggung. Kekejaman Taliban dan ketidak-pedulian mereka terhadap penduduk harus ditonjolkan."

Bila pasukan asing dapat menangani dengan lebih baik lagi soal-soal yang peka, seperti tewasnya warga sipil, maka pihak barat dapat merebut keunggulan Taliban dari hati dan pikiran warga Afghanistan. Tetapi saat ini mereka nampaknya masih menang angin. (dgl)