1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikJerman

Tanpa Mengakui, Jerman Perlambat Ekspor Senjata ke Israel

15 Oktober 2024

Berlin tampaknya telah menunda persetujuan ekspor senjata ke Israel, meski bersikeras bahwa tidak ada larangan yang diberlakukan. Pengamat meyakini pemerintah Jerman khawatir dengan ancaman hukum.

https://p.dw.com/p/4lnC1
Alutsista buatan Jerman
Tank Merkava (yang terlihat di dekat Jalur Gaza di selatan Israel pada Oktober 2023) menggunakan mesin buatan JermanFoto: Aris Messinis/AFP/Getty Images

Pemerintah Jerman tampaknya diam-diam menghentikan, atau setidaknya menunda, ekspor senjata ke Israel sejak awal tahun 2024, meskipun secara resmi membantah ada perubahan kebijakan, dan bersikeras bahwa ekspor senjata akan terus berlanjut dalam waktu dekat.

Angka-angka dari pemerintah yang diungkapkan dalam jawaban resmi atas pertanyaan parlemen pada 10 September menunjukkan, persetujuan ekspor senjata ke Israel memang meningkat setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, tetapi kemudian menurun di akhir tahun.

Jawaban untuk parlemen tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Ekonomi Jerman, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas persetujuan lisensi ekspor senjata. Disampaikan bahwa tidak ada ekspor "senjata perang" dari Januari hingga Juni 2024. Sementara itu, lisensi ekspor untuk komponen atau teknologi senjata, yang masuk dalam kategori berbeda, terus berlanjut tahun ini, meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil.

Sebagai contoh, Kementerian Ekonomi menyatakan lebih dari €3 juta (sekitar Rp49,2 miliar) ekspor suku cadang dan teknologi militer disetujui pada Oktober 2023, sementara pada Juli 2024, hanya sekitar €35.000 (sekitar Rp 574 juta) peralatan militer yang dikirim.

Meski begitu, Kementerian Ekonomi Jerman bersikeras bahwa angka-angka ini tidak menunjukkan perubahan sikap pemerintah. "Tidak ada larangan ekspor senjata ke Israel, dan tidak akan ada," kata juru bicara kementerian kepada DW dalam sebuah pernyataan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Tabloid utama Jerman, Bild, melaporkan pada Minggu (13/10) Wakil Kanselir dan Menteri Ekonomi Robert Habeck serta Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock menolak memberikan izin untuk pengiriman senjata baru ke Israel, dengan mengajukan syarat pemerintah Israel harus memberikan konfirmasi tertulis bahwa senjata tersebut "tidak akan digunakan untuk genosida." Konfirmasi tertulis ini kabarnya telah diberikan.

Kanselir Olaf Scholz kembali menegaskan sikap ini dalam pidatonya di parlemen pada 10 Oktober lalu, di mana ia mengumumkan pemerintah telah mengambil keputusan yang "menjamin, bahwa akan ada pengiriman lebih lanjut segera." Ia tidak memberikan rincian tentang jenis senjata apa yang akan diekspor atau kapan pengiriman akan dilakukan.

Olaf Scholz (kanan) dan Benjamin Netanyahu (kiri)
Kanselir Olaf Scholz (kanan) secara konsisten menyatakan dukungannya terhadap pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin NetanyahuFoto: Michael Sohn/AP/picture alliance

Menurut juru bicara kementerian ekonomi, semua permohonan ekspor senjata, dinilai berdasarkan kondisi masing-masing: "Dalam melakukannya, Pemerintah Federal memperhitungkan kepatuhan terhadap hukum humaniter internasional. Pendekatan berdasarkan kasus per kasus ini selalu memperhitungkan situasi saat ini, termasuk serangan terhadap Israel oleh Hamas dan Hizbullah serta jalannya operasi di Gaza."

Meski demikian, angka-angka tersebut tampaknya menunjukkan perubahan signifikan dalam dukungan militer Jerman untuk Israel, apalagi Jerman selama ini telah menjadi pemasok senjata terbesar kedua setelah AS bagi Israel setidaknya selama dua dekade terakhir.

Statistik yang dihimpun oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), dan disajikan dalam laporan yang diterbitkan oleh kelompok investigasi Forensic Architecture (FA) pada April lalu menunjukkan, pada tahun 2023, Jerman bertanggung jawab atas 47% dari total impor senjata konvensional Israel, mengikuti AS dengan 53%. FA juga menghitung bahwa dari €3,3 miliar (sekitar Rp54 triliun) nilai lisensi ekspor yang diberikan oleh Jerman antara tahun 2003 dan 2023, 53% adalah untuk senjata perang. Sisanya, untuk peralatan militer lainnya. Jerman menyetujui ekspor senjata senilai €326,5 juta (sekitar Rp5,35 triliun) ke Israel pada 2023.

Masalah ekspor senjata Jerman dalam beberapa kasus pengadilan

Saat membela dukungan militernya untuk Israel di pengadilan domestik dan internasional beberapa kali selama setahun terakhir, pemerintah Jerman sering kali mengecilkan ekspor senjatanya.

Pada April silam misalnya, ketika Nikaragua mengajukan kasus mendesak melawan Jerman di Mahkamah Internasional (ICJ) di bawah Konvensi Genosida PBB, perwakilan Jerman mengatakan kepada ICJ bahwa "98% dari lisensi yang diberikan setelah 7 Oktober tidak menyangkut senjata perang, tetapi peralatan militer lainnya." Ini bisa termasuk mesin untuk tank, jadi bukan tank secara utuh. Misalnya tank seri Merkava yang digunakan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF), telah menggunakan mesin dan transmisi buatan Jerman selama beberapa dekade.

Dalam pembelaannya kepada ICJ, pemerintah Jerman mengaku hanya memberikan empat lisensi ekspor untuk "senjata perang" dalam setahun terakhir, di antaranya tiga pesanan amunisi (termasuk satu berisi 500.000 peluru) serta bahan pendorong yang diklaim hanya cocok untuk tujuan pelatihan, dan pesanan keempat, yang diakui pemerintah, adalah untuk "3.000 senjata anti-tank portabel", sebuah lisensi yang diberikan "dalam konteks langsung pembantaian Hamas." Senjata anti-tank yang dikenal sebagai Matador ini pada dasarnya adalah peluncur roket genggam, dan dalam beberapa video yang muncul beberapa bulan terakhir, terlihat tentara Israel menembakkan senjata ini ke bangunan di Gaza.

Senjata buatan Jerman MATADOR RGW 90
Senjata anti-tank Matador buatan Jerman (dibawa di sini oleh seorang tentara Inggris) diyakini telah digunakan oleh IDF di GazaFoto: Andrew Chittock/StockTrek Images/IMAGO

Bukan berarti 98% ekspor lainnya, terutama komponen dan amunisi pelatihan, kurang mematikan, tetapi "untuk mengirim 500.000 peluru, yang konon hanya 'untuk tujuan pelatihan', tampaknya sangat mencurigakan," kata Jürgen Grässlin, juru bicara kelompok kampanye anti-perdagangan senjata Jerman Aktion Aufschrei, Stoppt den Waffenhandel. "Jumlahnya sangat besar dan menimbulkan keraguan apakah amunisi ini hanya akan digunakan untuk pelatihan selama bertahun-tahun," tambahnya.

Dalam kasus pengadilan domestik, pemerintah juga mengecilkan volume ekspor senjatanya ke Israel. Awal tahun ini, lima warga Palestina tanpa nama yang tinggal di Gaza mengajukan gugatan ke pengadilan Berlin yang dimaksudkan untuk memaksa Jerman menghentikan ekspor senjata ke Israel. Kasus ini, yang didukung oleh European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) yang berbasis di Berlin serta tiga organisasi hak asasi manusia Palestina, ditolak oleh pengadilan pada Juni, sebagian karena alasan yurisdiksi hukum, tetapi juga karena dianggap sudah terlambat, bahwa pemerintah Jerman mengatakan sudah tidak mengirim senjata lagi ke Israel.

Sönke Hilbrans, penasihat hukum senior di ECCHR, tidak puas dengan alasan pengadilan: "Pengadilan tidak memeriksa informasi ini," katanya. "Sebaliknya, mereka yang terkena dampak diminta untuk membuktikan sebaliknya, yang tidak mungkin dilakukan oleh siapa pun di luar pemerintah federal."

Pesan yang tumpang tindih

Memang, saat ini tidak ada informasi publik tentang lisensi ekspor senjata baru apa yang sedang atau tidak sedang disetujui oleh Jerman. Akibatnya, tindakan dan pernyataan pemerintah tampak kontradiktif.

Seperti yang dikatakan Max Mutschler, peneliti senior di Bonn International Centre for Conflict Studies (BICC): "Informasi dari pemerintah Jerman sangat tidak jelas ketika menyangkut ekspor senjata. Sekarang siapa pun bisa menafsirkan sesuka hati, mereka yang mengatakan pemerintah telah memberlakukan penghentian bisa menunjuk pada angka senjata perang, sementara mereka yang mengatakan pengiriman masih berlangsung bisa merujuk pada pengiriman lainnya dan pernyataan pemerintah. Ini adalah kebijakan informasi yang sangat buruk."

Banyak pengamat meyakini pemerintah di Berlin kemungkinan memang menjadi lebih berhati-hati dalam menyetujui lisensi baru, baik karena banyaknya laporan dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh IDF maupun kasus di pengadilan. Sumber yang mengetahui situasi ini memberi tahu DW dengan syarat anonim bahwa kekhawatiran tentang situasi di Gaza dan kemungkinan ancaman hukum bagi Jerman memang membuat pemerintah berpikir ulang.

"Tapi ada interpretasi lain," kata Mutschler. "Banyak ekspor senjata yang disetujui pada tahun 2023, setelah 7 Oktober dan hingga Desember. Bisa jadi semua yang sudah ada di meja saat itu, dan yang dipesan Israel segera setelah 7 Oktober, disahkan dengan sangat cepat, sehingga pada paruh pertama 2024 tidak banyak lisensi ekspor yang tersisa untuk disetujui." Mutschler percaya ini mungkin merupakan kombinasi dari kedua faktor tersebut, lisensi lama disetujui dengan cepat menjelang akhir 2023, dan kemudian Jerman menjadi lebih enggan menyetujui yang baru karena takut masalah hukum.

Antisemitisme: Mengapa Melekat Begitu Kuat?

Bagaimanapun juga, dukungan dasar pemerintah Jerman untuk Israel tampaknya tidak berubah. Andreas Krieg, profesor pertahanan dari Jerman di King's College London, meyakini pemerintah Jerman tetap menjadi negara yang paling pro-Israel di dunia, dan bahwa "mereka masih sangat berusaha melakukan ini, mereka masih berdiri bersama Israel, mereka masih ingin mengekspor." Namun, di saat yang sama, dia menduga bahwa pemerintah menunda persetujuan lisensi sambil menunggu konsultasi hukum: "Saya rasa ini bukan keputusan politik, saya rasa ini murni keputusan hukum pada titik ini," katanya kepada DW.

Kekhawatiran yang lebih besar, menurut Krieg, adalah kurangnya tekanan politik atau tekanan publik yang meluas terhadap pemerintah Jerman agar lebih transparan tentang dukungan militernya kepada Israel. "Lanskap media di Jerman, dan wacana publik, hampir seluruhnya mendukung Israel, dan sangat sedikit jika ada suara yang mengecam apa yang dilakukan Israel di Gaza," katanya. "Jadi saya rasa pemerintah Jerman memiliki kebebasan lebih besar dibandingkan, katakanlah, pemerintah Inggris di sini. Dalam konteks ini, Jerman tidak harus terlalu transparan dengan apa yang mereka lakukan."

Artikel ini diadaptasi dari DW bebahasa Inggris

 

Benjamin Knight
Ben Knight Berkantor di Berlin, Ben Knight terutama menulis laporan seputar politik Jerman.@BenWernerKnight