Cara Anak Muda Merawat Lansia Lewat Komunitas
3 Januari 2025Lantunan lagu berjudul Juwita oleh legenda musik Indonesia, Chrisye, terus bergema di aula RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) Nirmala, Sunter Jaya, Jakarta Utara, pada pertengahan Desember 2024. Seiring musik mengalir, satu per satu lansia berjalan dengan gemulai, memamerkan kostum tradisional yang telah disiapkan dari rumah.
Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, mereka yang telah berusia 60 hingga 80 tahun tersebut tampak ceria mengekspresikan diri di sebuah area yang disulap jadi panggung peragaan busana.
Di balik perayaan Hari Ibu yang diselenggarakan Sekolah Lansia Nirmala ini, tampak pula Irwanto, 30, yang sibuk mengurus segala kebutuhan logistik. Ia telah menjadi koordinator pengurus RPTRA Nirmala selama 4 tahun.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Saya mengibaratkan lansia di Nirmala ini sebagai orang tua kami. Oleh karena itu, kami gandeng, kami ajak beraktivitas di sini," tutur Irwanto kepada DW Indonesia.
Menurutnya, beragam aktivitas yang diselenggarakan sekolah lansia dapat membantu lansia peserta didik untuk meningkatkan daya ingat serta daya pikir, terlebih banyak dari mereka yang mengalami demensia. Mulai dari aktivitas kerohanian, fisik, hingga pembelajaran di kelas, lansia memerlukan pendampingan anak muda untuk terus berkarya, tambahnya.
Persiapkan anak muda jadi caregiver lansia
Ketua pengelola Sekolah Lansia Nirmala, Sri Sintawati, 53, menuturkan lewat sosialisasi dan interaksi dalam komunitas, lansia dapat terus mengasah memori, kebutuhan intelektual, serta meregulasi emosinya secara lebih baik. Namun tidak hanya itu, Sinta, panggilan akrabnya, juga ingin memberikan ruang bagi banyak anak muda untuk mengenal lansia.
Pasalnya, sekolah ini sendiri dikelola oleh tim pengurus yang terdiri dari ibu rumah tangga berusia 40 hingga 50 tahun, tim RPTRA yang berusia 25 hingga 30 tahun, serta puluhan mahasiswa yang terjun sebagai tim relawan medis atau pengajar yang baru menginjak usia 20-an.
"Banyak anak muda yang belum siap untuk menjadi caregiver bagi orang tuanya yang sudah lanjut usia. Terlebih, ada kesenjangan komunikasi antara caregiver dengan lansia. Oleh karena itu, anak muda harus punya pemahaman akan warga lansia, baik secara individual ataupun kolektif," ungkap Sinta.
Raihansyah, 23, tak pernah absen mengecek kesehatan fisik para lansia di sekolah. Ia menceritakan awal mula kisahnya bergabung sebagai relawan medis.
"Saya ingin lihat aktivitas apa yang dilakukan para lansia saat mereka bosan di rumah. Tujuannya ingin tahu seperti apa kesibukan mereka, lalu bagaimana tiap lansia juga punya cara interaksi dan komunikasi yang berbeda-beda," ujar Raihansyah.
Lewat interaksi yang bermakna, anak muda dapat memahami kebutuhan dan bantuan apa yang bisa diberikan kepada warga lansia. "Kalau kita, kaum muda, pasti terus berkembang pengetahuannya, contohnya dalam teknologi. Nah, tugas kita mengajarkan mereka dengan cara yang sopan dan mudah dipahami," jelas Raihansyah.
Lansia perlu aktif dan mandiri dalam mengambil keputusan
Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia kini telah mencapai 11,75 persen, melansir data Susenas 2023. Data Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023 pun menunjukkan peningkatan fase bangsa menua di Indonesia sejak tahun 2021, di mana satu dari 10 penduduk telah berusia di atas 60 tahun.
Dengan bertambahnya usia penduduk, lansia perlu mulai dipandang sebagai bagian dari masyarakat yang aktif dan mandiri dalam membuat keputusan. Guru Besar Gerontologi Universitas Respati Indonesia, Prof. Dr. Tri Budi, menilai bahwa generasi muda di Indonesia sudah cukup aktif dalam mendukung warga lansia.
"Generasi muda itu ada di mana-mana, baik di komunitas yang berkaitan dengan pendidikan, kepemudaan, atau keagamaan. Dalam berbagai komunitas ini, kebanyakan kegiatan khusus lansia itu digerakkan dan difasilitasi oleh anak-anak muda," ungkap Prof. Dr. Tri Budi.
Ia mengacu pada penelitian di tahun 2024 yang menunjukkan 70 persen anak muda Indonesia mendukung lansia untuk terus berkembang.
Alih-alih melihat lansia sebagai beban atau melabelinya dengan stigma negatif, anak muda di Indonesia acap kali memandang lansia sebagai individu yang berdaya dan memiliki otonomi, tambahnya.
Karena itu, dukungan antargenerasi dalam menyuarakan problema yang berkaitan dengan lansia bisa membantu pemerintah untuk memenuhi hak lansia, serta meningkatkan kesejahteraan warga lanjut usia.
Mayoritas lansia di Indonesia berekonomi lemah
Namun ternyata dukungan anak muda saja tidak cukup. Dari segi ekonomi, ternyata masih banyak lansia yang harus bergulat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, atau bahkan bergantung kepada orang lain.
Merujuk data Susenas Maret 2022, lebih dari lima juta lansia di Indonesia bergantung pada bantuan keuangan dari generasi milenial dan Z. Cakupan warga lansia yang memiliki dana pensiun sangat rendah, hanya 14,8 persen.
Sementara, menurut data BPS 2023, hampir 54 persen lansia masih bekerja dengan penghasilan rata-rata 1,71 juta rupiah per bulan, masih jauh di bawah penghasilan rata-rata buruh nasional sebesar 3,18 juta per bulan.
"Mereka yang mempunyai pensiun itu masih kecil, sangat kecil. Jadi, lansia Indonesia memang masih dalam kondisi di mana mereka mendapatkan penghasilan dari sektor informal," ungkap Prof. Dr. Tri Budi kepada DW Indonesia.
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan Perpres nomor 88 tahun 2021 tentang pemenuhan hak lansia, tetapi akses jaminan sosial bagi warga lansia belum merata.
Kementerian Sosial menyebutkan, program untuk warga lansia terdiri dari Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-tunai (BPNT), Asistensi Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia (ATENSI LU), Permakanan Lanjut Usia, dan operasi katarak gratis.
Namun, pada praktiknya, warga lansia penerima PKH tahun 2019 masih berada di angka 10,81 persen, dan tahun 2023 naik menjadi 15,8 persen. Persoalan administrasi pun masih mengakar, menyebabkan banyaknya warga lansia miskin tidak terdaftar dalam berbagai program.
Di tengah keterbatasan ekonomi tersebut, Prof. Dr. Tri Budi menilai bahwa karakteristik masyarakat Indonesia yang komunal mendorong lansia untuk tetap aktif bersosialisasi dan berinteraksi. Dengan adanya dukungan antargenerasi, keluhan ekonomi pun tidak lantas menghentikan lansia untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya.
"Kalau mereka berkumpul, mereka dengan sendirinya bisa saling mendukung dan memberdayakan dirinya sendiri. Agar saling mendukung secara berkualitas, kita harus berikan mereka juga kemampuan untuk itu," ungkap Prof. Dr. Tri Budi.
Editor: Arti Ekawati