1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Gagal Capai Target Penghentian Deforestasi di 2023

9 Oktober 2024

Laporan mengungkapkan bahwa hutan seluas negara Latvia hilang karena deforestasi tahun lalu. Wilayah tropis kehilangan paling banyak pohon, bagaimana dengan Indonesia?

https://p.dw.com/p/4lYic
Pohon kelapa sawit yang baru ditanam di lokasi hutan tropis yang hancur di Kuala Cenaku, Riau, November 2007
Hutan adalah rumah bagi 80% spesies tumbuhan dan hewan darat di duniaFoto: Dimas Ardian/Getty Images

Pada 2023, sebanyak 6,37 juta hektar hutan hancur, hampir sebesar negara Latvia, menurut laporan dari organisasi Forest Declaration Assessment yang dirilis pada Selasa (08/10).

Padahal, agar dunia bisa menghentikan deforestasi pada 2030, angka ini seharusnya tidak lebih dari 4,4 juta hektar. 

Penyebab utama dari kerusakan hutan ini adalah karena aktivitas pertanian, pembangunan jalan, kebakaran, dan penebangan kayu komersial, merujuk pada laporan tersebut.

"Secara global, deforestasi semakin buruk, bukan membaik, sejak awal dekade ini," ujar Ivan Palmegiani, penulis utama laporan ini.

"Kita hanya punya waktu enam tahun lagi sebelum batas waktu penting untuk mengakhiri deforestasi, namun hutan terus ditebang, dirusak, dan dibakar dengan kecepatan yang mengkhawatirkan," tambahnya.

Fokus pada hutan hujan tropis

Menurut laporan tersebut, salah satu cara utama untuk mencapai target perlindungan hutan global adalah dengan mengurangi deforestasi di kawasan tropis.

Namun, hampir 96% deforestasi di 2023 terjadi di negara-negara tropis seperti Brasil, Indonesia, Bolivia, dan Republik Demokratik Kongo.

Oseania Tropis adalah satu-satunya wilayah tropis yang berhasil memenuhi target deforestasi 2023.

Brasil, meskipun masih menjadi negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia, telah menunjukkan kemajuan signifikan sejak Luiz Inácio Lula da Silva menjadi presiden.

Kebijakan pemerintah Brasil untuk melindungi hutan hujan Amazon, yang berfungsi sebagai penyerap karbon, berhasil menurunkan tingkat deforestasi di wilayah tersebut hingga 62%, menurut laporan itu.

Namun, di wilayah El Cerrado, daerah sabana di selatan Amazon, deforestasi malah meningkat.

Sementara itu, peningkatan terbesar terjadi di Bolivia dan Indonesia. Di Bolivia, deforestasi melonjak hingga 351% antara tahun 2015 dan 2023, sebuah tren yang "belum menunjukkan tanda-tanda berhenti," kata para peneliti.

Di Indonesia, deforestasi kembali meningkat tahun lalu setelah dua tahun mengalami penurunan.

Laporan itu juga mencatat bahwa permintaan bahan untuk produk "ramah lingkungan," seperti viscose untuk pakaian dan nikel untuk baterai kendaraan listrik, turut menyumbang peningkatan deforestasi di Indonesia.

Indonesia dan kelindan tambang

Dalam laporan World Population Review, 10 negara telah bertanggung jawab atas hilangnya hutan (deforestasi) sejak tahun 1990 hingga 2020. Indonesia berada diurutan kedua setelah Brasil. 

Dalam studi "A pantropical assessment of deforestation caused by industrial mining" oleh Stefan Giljum, dkk, mengungkapkan bahwa Indonesia jadi negara yang terburuk terkait isu deforestasi dan pertambangan, yang berkontribusi terhadap 58,2% deforestasi hutan tropis.

Pada periode 2000 hingga 2019, lahan hutan tropis seluas 3.264 km persegi dibabat untuk aktivitas pertambangan.

Adapun aktivitas pertambangan yang mengambil lahan hutan berasal dari industri batu bara, emas, bijih besi, dan bauksit.

Keberatan Eropa Atas Kelapa Sawit, Peduli Lingkungan Atau Bisnis?

Bisakah deforestasi diakhiri?

Pada 2021, lebih dari 140 negara berjanji untuk mengakhiri deforestasi di Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow. Namun, para peneliti mengatakan janji ini belum terpenuhi.

"Jika ingin mencapai target perlindungan hutan global, kita harus membuat perlindungan hutan tidak terganggu oleh perubahan politik dan ekonomi," kata Erin Matson, salah satu penulis laporan tersebut.

"Kita juga harus mengubah cara pandang terhadap konsumsi dan produksi kita, agar tidak lagi bergantung pada eksploitasi berlebihan sumber daya alam," tambahnya.

Meskipun begitu, Palmegiani percaya bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki situasi ini.

Namun, agar hal ini berhasil, negara-negara industri perlu lebih mendukung negara-negara yang memiliki banyak hutan dalam upaya konservasi mereka.

Pekan lalu, Komisi Eropa menunda penerapan undang-undang anti-deforestasi hingga akhir 2025, meskipun mendapat protes dari organisasi lingkungan.

Hutan merupakan rumah bagi 80% spesies tumbuhan dan hewan di daratan. Hutan juga berperan penting dalam mengatur siklus air dan menyerap CO2 dari atmosfer, menjadikannya sangat penting dalam melawan perubahan iklim.

rs/yf (AFP, DPA, Detik)